Mengenal Tan Malaka: Sang Pencetus Konsep Republik Indonesia Pertama yang Dihapus dari Sejarah Bangsa
![]() |
(Ilustrasi Tan Malaka Dan Barisan Perjuangannya sketsa 3D) |
Artikel ini akan membahas secara panjang dan detail tentang autobiografi Tan Malaka, jejak perjuangannya, peninggalan dan buku-bukunya, relasi dengan tokoh bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, pandangan sejarawan terhadap dirinya, hingga kisah tragis kematiannya di tangan bangsanya sendiri. Dengan begitu, kita dapat memahami mengapa Tan Malaka layak dikenang pada momentum HUT RI ke-80.
Baca Artikel Lainnya: 80 Tahun Merdeka: Saatnya Indonesia Merdeka dari Korupsi dan Ketidakadilan
Autobiografi Lengkap Tan Malaka
Masa Kecil dan Pendidikan
Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat dengan nama asli Sutan Ibrahim. Ia berasal dari keluarga Minangkabau sederhana, namun memiliki tradisi pendidikan yang kuat. Sejak kecil, Tan Malaka sudah dikenal cerdas, kritis, dan haus ilmu.
Setelah menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat, Tan Malaka mendapat kesempatan belajar di Kweekschool Fort de Kock (Bukittinggi), sebuah sekolah guru Belanda. Bakat intelektualnya menarik perhatian sehingga ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda.
Studi di Belanda dan Pergaulan Intelektual
Di Belanda, Tan Malaka belajar di Rijkskweekschool Haarlem. Di sinilah ia berkenalan dengan pemikiran Karl Marx, Lenin, dan filsafat Barat modern. Ia juga bersentuhan dengan gerakan buruh internasional, yang kelak memengaruhi pandangannya tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Selama di Eropa, Tan Malaka menulis berbagai artikel dan gagasan tentang kemerdekaan bangsa jajahan. Berbeda dengan sebagian tokoh sezamannya yang masih percaya pada strategi kooperatif dengan Belanda, Tan Malaka sudah berbicara tentang republik sebagai bentuk ideal bagi Indonesia merdeka.
Kembali ke Indonesia dan Awal Perjuangan
Sekitar 1920, Tan Malaka kembali ke tanah air dan aktif dalam Sarekat Islam. Ia mendirikan sekolah untuk rakyat, dengan kurikulum yang menekankan kesadaran kebangsaan. Sekolah ini sangat populer karena mengajarkan nilai kebebasan, nasionalisme, dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Namun, aktivitasnya diawasi ketat oleh Belanda. Pada 1922, ia ditangkap dan akhirnya dibuang ke Belanda. Sejak saat itu, hidup Tan Malaka diwarnai dengan pengasingan, pelarian, dan perjuangan internasional hingga akhir hayatnya.
Jejak Perjuangan Tan Malaka
Di Eropa dan Rusia
Dalam pengasingan, Tan Malaka tetap aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia bergabung dengan gerakan kiri internasional, termasuk menghadiri Kongres Komunis Internasional (Komintern) di Moskow. Bahkan ia dipercaya menjadi wakil Asia Tenggara.
Di Filipina, Tiongkok, dan Asia Tenggara
Tan Malaka sering berpindah-pindah: Filipina, Tiongkok, Burma, hingga Malaya. Ia mendirikan jaringan pergerakan bawah tanah yang menekankan revolusi rakyat. Meski dianggap berhaluan kiri, Tan Malaka menolak tunduk sepenuhnya pada Partai Komunis Internasional (Komintern). Ia lebih memilih nasionalisme Indonesia yang independen.
Peran di Indonesia Pasca 1942
Ketika Jepang kalah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Tan Malaka kembali ke tanah air. Ia mendirikan organisasi Persatuan Perjuangan, yang menolak kompromi dengan Belanda dan menuntut kemerdekaan 100%.
Di titik ini, namanya makin populer di kalangan rakyat dan tentara muda. Banyak yang menganggap Tan Malaka lebih revolusioner dibandingkan Soekarno dan Hatta.
Beberapa Peninggalan dan Buku-Buku Tan Malaka
Tan Malaka dikenal sebagai pemikir sekaligus penulis produktif. Beberapa karya monumental antara lain:
Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, 1925):
Buku ini berisi gagasan bahwa bentuk negara ideal bagi Indonesia adalah republik, bukan kerajaan atau federasi. Buku ini jauh mendahului proklamasi 1945.
Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika, 1943):
Karya filsafat monumental yang mengajak bangsa Indonesia meninggalkan takhayul dan berpikir ilmiah.
Gerilya Politik dan Ekonomi (1948) :
Membahas strategi politik dan ekonomi untuk mempertahankan republik yang baru lahir.
Semangat Muda dan Menuju Republik Indonesia: kumpulan esai perjuangan Tan Malaka.
Buku-buku ini menunjukkan bahwa Tan Malaka bukan hanya pejuang fisik, tetapi juga seorang filsuf dan pendidik bangsa.
Persinggungan Tan Malaka dengan Soekarno, Hatta, dan Sjahrir
Dengan Soekarno
Hubungan Tan Malaka dengan Soekarno penuh dinamika. Soekarno mengakui kecerdasan Tan Malaka, bahkan menyebutnya “Bapak Republik.” Bung Karno juga menulis pernyataan politik bahwa jika ia ditahan Sekutu, maka kepemimpinan revolusi harus diserahkan kepada Tan Malaka.
Namun, strategi keduanya berbeda. Soekarno lebih memilih jalur diplomasi, sementara Tan Malaka menolak kompromi.
Dengan Hatta
Mohammad Hatta sering berselisih paham dengan Tan Malaka, terutama terkait ideologi ekonomi dan hubungan internasional. Meski begitu, Hatta tetap menilai Tan Malaka sebagai tokoh teguh dan konsisten dalam perjuangan.
Dengan Sutan Sjahrir
Sjahrir menilai gagasan Tan Malaka terlalu ekstrem. Ia lebih memilih jalan moderat. Meski berbeda jalan, Sjahrir mengakui ketajaman intelektual Tan Malaka.
Pandangan Tokoh dan Sejarawan Tentang Tan Malaka
Dari Tokoh Bangsa
Soekarno: Menganggap Tan Malaka sebagai alternatif pemimpin revolusi.
Hatta: Menghormatinya meski berbeda jalan.
Sjahrir: Mengkritiknya, tapi mengakui kecerdasannya.
Dari Sejarawan
Harry A. Poeze: Menyebut Tan Malaka sebagai pahlawan terlupakan yang layak mendapat pengakuan.
Anhar Gonggong: Menilai Tan Malaka sebagai pemikir futuristik yang melampaui zamannya.
Asvi Warman Adam: Menekankan bahwa Tan Malaka seharusnya mendapat tempat penting dalam sejarah nasional.
Dari Akademisi Modern
Banyak akademisi kini menilai bahwa Tan Malaka adalah figur lengkap: pejuang, filsuf, penulis, organisatoris, dan guru bangsa.
Eksekusi Tragis Tan Malaka
Pada 19 Februari 1949, Tan Malaka ditangkap oleh tentara Divisi Siliwangi di Kediri. Ia kemudian dieksekusi tanpa pengadilan. Ironisnya, eksekusi ini dilakukan oleh bangsanya sendiri, bukan penjajah.
Kisah ini menjadi tragedi besar dalam sejarah Indonesia: seorang pejuang kemerdekaan yang memberi gagasan tentang republik justru diakhiri hidupnya secara tragis.
Mengapa Tan Malaka Dilenyapkan dari Sejarah dan Pendidikan?
Beberapa alasan mengapa nama Tan Malaka lama disingkirkan dari buku sejarah sekolah:
Stigma komunis → meski Tan Malaka tidak sepenuhnya tunduk pada komunisme internasional, ia tetap dicap berhaluan kiri.
Persaingan politik → perbedaan strategi dengan Soekarno, Hatta, dan Sjahrir membuatnya dimarginalkan.
Situasi politik Orde Baru → penguasa menolak segala hal yang berbau kiri.
Solusi: Mengembalikan Tan Malaka ke Panggung Sejarah
Revisi kurikulum sejarah: nama Tan Malaka perlu dimasukkan lebih komprehensif dalam buku sekolah.
Penghargaan negara: meski sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional (1963), perlu ada pengakuan lebih nyata, misalnya penamaan jalan besar atau monumen nasional.
Kajian akademis: karya Tan Malaka seperti Madilog harus dijadikan rujukan bagi mahasiswa dan generasi muda.
Literasi publik: masyarakat perlu terus diingatkan bahwa republik yang kita nikmati hari ini pernah diperjuangkan oleh sosok yang disisihkan.
Kesimpulan
Pada peringatan HUT RI ke-80, mengenang Tan Malaka adalah upaya menegakkan keadilan sejarah. Ia adalah pencetus pertama konsep Republik Indonesia, pemikir besar, sekaligus pejuang yang rela kehilangan nyawa demi bangsa. Sayangnya, ia dilenyapkan dari panggung sejarah resmi.
Menghargai Tan Malaka bukan hanya soal nostalgia, tetapi juga refleksi: apakah kita sudah benar-benar merdeka secara pikiran dan peradaban, sebagaimana dicita-citakan Tan Malaka?
Dengan mengenang Tan Malaka, bangsa Indonesia bisa belajar untuk tidak lagi menghapus jasa pahlawan hanya karena perbedaan ideologi. Pada akhirnya, Tan Malaka adalah salah satu fondasi berdirinya Republik Indonesia.
Publisher:
[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
Referensi
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia.
Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, 1925.
Tan Malaka, Madilog, 1943.
Anhar Gonggong, Pemikiran Nasionalisme Indonesia.
Asvi Warman Adam, tulisan seputar sejarah Tan Malaka di LIPI.
Mohammad Hatta, Memoir (1979).