Panduan Lengkap 2025: Analisis Wacana dalam Berita Politik Indonesia

Pelajari 12 panduan analisis wacana berita politik Indonesia 2025. Dibahas teori ahli internasional & Indonesia, dan contoh aktual.

(Ilustrasi 3D realistis panduan lengkap analisis wacana dalam berita politik Indonesia 2025 dengan latar landscape)
PortalJatim24.com - Pendidikan - Perkembangan politik Indonesia pada 2025 semakin dinamis dengan hadirnya berbagai isu besar, mulai dari transisi kepemimpinan pasca pemilu, konflik kepentingan partai politik, isu korupsi, hingga pertarungan ideologi di ruang publik. Media massa dan media digital menjadi arena utama di mana pertarungan makna, ideologi, dan kepentingan berlangsung.

Dalam konteks ini, analisis wacana (discourse analysis) merupakan pendekatan penting untuk membaca bagaimana berita politik tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk persepsi masyarakat, memengaruhi opini publik, bahkan mengarahkan perilaku politik pemilih.

Menurut Teun A. van Dijk (1988), wacana bukan hanya bahasa, melainkan praktik sosial yang terikat pada struktur kekuasaan. Sementara Eriyanto (2001) menekankan bahwa teks media harus dibaca secara kritis karena di balik teks terdapat ideologi yang berusaha disembunyikan.

Artikel ini menyajikan 12 panduan lengkap analisis wacana dalam berita politik Indonesia 2025, menggabungkan teori dari tokoh internasional seperti Noam Comsky, Van Dijk, Fairclough, Foucault, Hall, hingga Barthes, serta tokoh Indonesia seperti Eriyanto, Alex Sobur, dan Burhan Bungin.

Baca Artikel Lainnya: Pandangan Tan Malaka tentang Ilmu Pengetahuan dalam Buku Madilog. Terbaru 2025

✅Apa Itu Analisis Wacana Menurut Ahli?

✔Teun A. van Dijk (Belanda)

Menyatakan bahwa wacana mencakup struktur teks, konteks sosial, dan hubungan kuasa. Dalam News as Discourse (1988), Van Dijk menekankan bahwa berita politik sering kali dibentuk sesuai kepentingan elite.

✔Norman Fairclough (Inggris)

Melihat bahasa sebagai praktik sosial. Dalam Critical Discourse Analysis (1995), ia menjelaskan bahwa teks media mengandung ideologi yang mereproduksi relasi kekuasaan.

✔Michel Foucault (Prancis)

Menyebut wacana sebagai mekanisme kontrol sosial. Dalam The Archaeology of Knowledge (1972), ia menekankan relasi wacana kekuasaan–pengetahuan.

✔Stuart Hall (Jamaika–Inggris)

Mengembangkan teori representasi. Menurutnya, media adalah arena perebutan makna, di mana kelompok dominan mencoba menanamkan hegemoni.

✔Eriyanto (Indonesia)

Dalam Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (2001), ia menyatakan bahwa media adalah agen politik yang dapat menyingkirkan atau menonjolkan aktor tertentu.

✔Alex Sobur (Indonesia)

Dalam Analisis Teks Media (2002), ia menekankan pentingnya semiotika dan framing sebagai kunci membaca konstruksi makna media.

✔Burhan Bungin (Indonesia)

Dalam Konstruksi Sosial Media Massa (2008), Bungin menjelaskan bagaimana media membentuk realitas sosial dan politik.

Baca Juga: Apa Itu Madilog Tan Malaka? Penjelasan Materialisme, Dialektika, dan Logika Lengkap 2025

✅Mengapa Analisis Wacana Penting dalam Berita Politik 2025?

Pada 2025, berita politik di Indonesia tidak lagi sekadar soal fakta, melainkan bagaimana fakta itu ditampilkan. Sebuah peristiwa politik bisa ditampilkan dengan makna yang sangat berbeda tergantung siapa pemilik media dan afiliasi politiknya.

Contoh kasus: Berita tentang kebijakan subsidi BBM. Media yang pro-pemerintah mungkin menampilkan sebagai “strategi menyelamatkan ekonomi rakyat”, sedangkan media oposisi menampilkan sebagai “bukti kegagalan pemerintah menjaga stabilitas harga.”

Menurut Chomsky & Herman (1988), media berfungsi sebagai “mesin propaganda” yang melegitimasi kepentingan elite. Sedangkan Bungin (2008) menekankan di Indonesia, media sering kali berafiliasi dengan partai politik sehingga analisis wacana menjadi kunci untuk memahami bias.

Baca Juga: Kajian Filsafat Politik Menghadang Konspirasi Digital dan Populisme 2025

✅12 Panduan Analisis Wacana dalam Berita Politik Indonesia

✔Identifikasi Aktor Politik yang Diangkat

Ahli rujukan: Teun A. van Dijk (1988), Eriyanto (2001).

Media selalu menonjolkan aktor tertentu, baik individu maupun institusi. Siapa yang dimunculkan dan siapa yang diabaikan bukan kebetulan, melainkan strategi wacana.

Contoh: Dalam pemberitaan pemilu 2024, kandidat A lebih sering muncul dengan sorotan positif (program, visi-misi), sementara kandidat B sering muncul hanya dalam konteks kontroversi.

Implementasi: Buat matriks daftar aktor → jumlah kemunculan → konteks (positif/negatif/netral).

Menurut Van Dijk (2008), kontrol atas siapa yang “berbicara” dalam teks adalah bentuk kontrol atas kesadaran publik.

✔Analisis Pilihan Kata (Diksi Politik)

Ahli rujukan: Norman Fairclough (1995), Alex Sobur (2002).

Pilihan kata bukan hal netral, tetapi sarat ideologi. Kata “reformis” menandakan citra positif, sementara “radikal” memberi stigma negatif.

Contoh: Media bisa menyebut kebijakan pemerintah sebagai “perampingan birokrasi” (konotasi positif) atau “pemecatan massal” (konotasi negatif).

Implementasi: Tandai metafora, eufemisme, dan jargon politik yang muncul di teks berita

Sobur (2002) menekankan bahwa semiotika membantu melihat makna yang tersembunyi di balik diksi.

✔Telaah Struktur Teks Berita

Ahli rujukan: Van Dijk (1988), Burhan Bungin (2008).

Struktur berita (judul, lead, isi) sering mengarahkan pembaca sebelum mereka masuk ke isi teks.

Contoh: Judul “Menteri X Terseret Skandal” meskipun isi berita hanya berupa tuduhan tanpa bukti kuat, sudah cukup menggiring opini negatif.

Implementasi: Analisis bagian mana yang diberi porsi lebih besar, siapa disebut pertama, dan siapa ditempatkan terakhir.

Menurut Bungin (2008), susunan narasi media adalah bentuk rekayasa realitas.

✔Analisis Framing Media

Ahli rujukan: Robert Entman (1993), Eriyanto (2002).

Framing adalah bagaimana media memilih sudut pandang tertentu.

Contoh: Isu kenaikan BBM bisa diframing sebagai “langkah berani pemerintah menyelamatkan APBN” atau “bukti gagal menjaga kesejahteraan rakyat.”

Implementasi: Gunakan empat perangkat framing ala Entman:

Definisi masalah.

-Identifikasi penyebab.

-Penilaian moral.

-Rekomendasi solusi.

Eriyanto (2002) mengadaptasi konsep ini ke konteks media Indonesia.

Baca Juga: Filsafat Politik sebagai Panduan Menghindari Kekuasaan Absolut Terbaru 2025

✔Pemetaan Ideologi Media

Ahli rujukan: Herman & Chomsky (1988), Burhan Bungin (2008).

Media tidak bebas nilai. Ideologi media tercermin dari cara mereka memilih isu.

Contoh: Media milik pengusaha yang dekat dengan partai tertentu akan lebih menonjolkan keberhasilan tokoh partai tersebut.

Implementasi: Lacak kepemilikan media → afiliasi politik → bandingkan dengan arah liputan.

Bungin (2008) menegaskan bahwa media di Indonesia sering menjadi perpanjangan kepentingan elite.

✔Identifikasi Narasumber Utama

Ahli rujukan: Van Dijk (2008), Sobur (2002).

Siapa yang diberi kesempatan bicara? Narasumber bukan hanya penyampai fakta, tetapi representasi otoritas.

Contoh: Media lebih sering mengutip pengamat politik yang pro-pemerintah dibanding oposisi.

Implementasi: Catat frekuensi kemunculan narasumber, latar belakang, dan keberimbangan sudut pandang.

Menurut Van Dijk (2008), akses ke wacana ditentukan oleh posisi kekuasaan.

✔Analisis Representasi Kelompok Sosial

Ahli rujukan: Stuart Hall (1997), Eriyanto (2001).

Media membentuk citra kelompok tertentu.

Contoh: Mahasiswa yang berdemonstrasi bisa disebut “biang kerusuhan” oleh media tertentu, tapi “penyambung aspirasi rakyat” oleh media lain.

Implementasi: Analisis bagaimana minoritas, buruh, petani, atau ormas direpresentasikan.

Menurut Hall (1997), representasi adalah arena perebutan makna.

✔Telaah Intertekstualitas

Ahli rujukan: Fairclough (1995), Sobur (2002).

Berita politik sering merujuk pada teks lain: pidato, arsip, atau pemberitaan sebelumnya.

Contoh: Janji politik kandidat 2025 dikaitkan dengan pidato 2019 atau program lama yang gagal.

Implementasi: Lacak bagaimana teks baru mengutip, mengulang, atau merekonstruksi teks lama.

Fairclough menyebut ini sebagai “order of discourse” jejaring antarwacana.

✔Analisis Visual (Foto & Video)

Ahli rujukan: Roland Barthes (1977), Alex Sobur (2002).

Visual sering lebih kuat dari teks. Foto, grafik, atau video memiliki “mitos” yang menyiratkan makna.

Contoh: Foto kandidat tersenyum di tengah rakyat memberi kesan populis; foto kandidat marah memberi kesan arogan.

Implementasi: Analisis angle, pencahayaan, warna, gesture tubuh, dan simbol visual.

Barthes (1977) menyebutnya sebagai “anchorage” bagaimana teks dan gambar saling menguatkan makna.

✔Kritik terhadap Bias Media

Ahli rujukan: Shoemaker & Reese (2014), Eriyanto (2001).

Bias media muncul karena faktor ideologi, kepemilikan, dan tekanan politik.

Contoh: Media A menekankan kegagalan pemerintah, Media B menonjolkan keberhasilan dengan isu sama.

Implementasi: Bandingkan pemberitaan isu identik di 3–4 media, lalu lihat perbedaan penekanan.

Shoemaker & Reese (2014) menekankan pentingnya analisis multi-level (individu jurnalis, organisasi media, struktur ekonomi-politik).

✔Analisis Konteks Politik dan Sosial

Ahli rujukan: Michel Foucault (1972), Burhan Bungin (2008).

Berita tidak lahir di ruang hampa. Ia terikat konteks sosial-politik.

Contoh: Berita kasus korupsi bisa dibaca sebagai upaya menjatuhkan lawan politik menjelang pemilu.

Implementasi: Kaitkan teks dengan situasi politik, ekonomi, budaya, dan kebijakan saat berita diproduksi.

Foucault (1972) menyatakan wacana selalu terkait dengan kuasa dan pengetahuan.

✔Evaluasi Dampak Wacana terhadap Opini Publik

Ahli rujukan: Denis McQuail (2010), Eriyanto (2001).

Dampak wacana bisa diukur melalui opini publik.

Contoh: Pemberitaan masif tentang kasus hukum tokoh politik bisa menurunkan elektabilitasnya.

Implementasi: Gunakan survei opini, analisis trending topic, atau komentar publik di media sosial.

McQuail (2010) menyebut media memiliki fungsi agenda-setting menentukan isu apa yang dianggap penting.

Kesimpulan

Analisis wacana dalam berita politik Indonesia 2025 sangat relevan untuk memahami bagaimana media membentuk realitas politik. Dengan 12 panduan di atas, kita bisa melihat bagaimana teks, visual, narasumber, dan framing membentuk opini publik.

Seperti dikatakan Eriyanto (2001):

“Media bukanlah cermin realitas, melainkan lensa yang membentuk realitas sesuai kepentingannya.”

Publisher/Penulis:

[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]

Referensi

Barthes, R. (1977). Image, Music, Text. London: Fontana Press.

Bungin, B. (2008). Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.

Entman, R. (1993). “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm.” Journal of Communication, 43(4).

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.

Foucault, M. (1972). The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock.

Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage.

Herman, E. S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York: Pantheon.

McQuail, D. (2010). McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage.

Shoemaker, P. J., & Reese, S. D. (2014). Mediating the Message in the 21st Century. New York: Routledge.

Sobur, A. (2002). Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

van Dijk, T. A. (1988). News as Discourse. Hillsdale: Lawrence Erlbaum.

van Dijk, T. A. (2008). Discourse and Power. New York: Palgrave Macmillan.