Kajian Filsafat Politik Menghadang Konspirasi Digital dan Populisme 2025

Kajian filsafat politik 2025 membahas ancaman konspirasi digital dan populisme. Analisis kritis, contoh nyata, serta pandangan ahli tentang dampak.

(Ilustrasi 3D filsafat politik menghadang konspirasi digital dan populisme 2025)
PortalJatim24.com - Pendidikan - Tahun 2025 menjadi salah satu titik krusial dalam perjalanan demokrasi, baik di Indonesia maupun di dunia. Transformasi digital membawa perubahan besar terhadap pola komunikasi politik, dinamika pemilu, serta cara masyarakat memandang kekuasaan. Di satu sisi, digitalisasi membuka akses informasi tanpa batas; namun di sisi lain, ia juga menjadi lahan subur bagi berkembangnya konspirasi digital, hoaks politik, serta populisme berbasis media sosial.

Dalam konteks ini, filsafat politik hadir bukan hanya sebagai teori abstrak, tetapi sebagai panduan praktis untuk memahami dan menghadapi tantangan kekuasaan. Filsafat politik membicarakan kebebasan, keadilan, legitimasi, serta batas kekuasaan, yang kesemuanya sangat relevan ketika kita berbicara tentang ancaman demokrasi akibat disinformasi dan populisme digital.

Menurut Andrew Heywood (2017) dalam Political Ideologies, filsafat politik tidak hanya mendefinisikan konsep-konsep utama dalam politik, tetapi juga menguji bagaimana konsep tersebut dijalankan dalam praktik. Di sinilah pentingnya kita mengkaji bagaimana filsafat politik dapat menjadi benteng menghadapi konspirasi digital dan populisme yang semakin menekan demokrasi di tahun 2025.

Baca Artikel Lainnya: Filsafat Politik sebagai Panduan Menghindari Kekuasaan Absolut Terbaru 2025

Apa Itu Filsafat Politik dan Mengapa Penting di Era Digital?

Filsafat politik adalah cabang filsafat yang membahas dasar-dasar moral dan normatif dari kehidupan berpolitik: siapa yang berhak berkuasa, bagaimana kekuasaan dibatasi, dan bagaimana keadilan ditegakkan. Menurut Leo Strauss, filsafat politik adalah upaya manusia untuk menemukan tatanan politik yang terbaik berdasarkan akal dan pengalaman sejarah.

Di era digital, filsafat politik menjadi sangat penting karena:

-Menjadi lensa kritis dalam menghadapi derasnya arus informasi yang sering membingungkan.

-Menjadi tolok ukur moral, apakah praktik politik sesuai dengan prinsip keadilan dan kebebasan.

-Memberikan panduan etis, agar demokrasi tidak tergelincir dalam otoritarianisme digital.

✔Kritik aktual 2025:

Meskipun demokrasi Indonesia disebut masih “stabil” oleh BPS (2025), kenyataannya indeks kepercayaan publik terhadap institusi menurun tajam akibat banjir hoaks politik di media sosial. Ini menunjukkan pentingnya filsafat politik sebagai alat refleksi kritis.

✔Contoh:

Dalam Pilpres 2024, banyak beredar teori konspirasi mengenai “intervensi asing” dalam proses pemilu. Padahal, sebagian besar isu tersebut tidak berdasar dan hanya dipakai untuk memecah belah masyarakat.

✔Implementasi:

Mengintegrasikan literasi politik berbasis filsafat dalam kurikulum sekolah dan universitas agar masyarakat dapat memahami konsep dasar demokrasi, bukan hanya mengikuti arus informasi mentah dari media sosial.

Baca Juga: Demokrasi, Konspirasi, dan Ideologi: Berikut Penjelasan Lengkap 2025

Konspirasi Digital dalam Perspektif Filsafat Politik

Konspirasi digital adalah bentuk narasi bohong atau manipulatif yang sengaja disebarkan untuk memengaruhi opini publik. Menurut Cass Sunstein (2014), teori konspirasi seringkali hidup subur karena ada krisis kepercayaan terhadap pemerintah maupun institusi.

Dalam era media sosial, konspirasi menjadi semakin kuat karena algoritma cenderung memperkuat konten sensasional ketimbang yang rasional.

✔Kritik aktual 2025:

Kominfo RI (2024) melaporkan lebih dari 2.500 hoaks politik beredar sepanjang tahun menjelang Pemilu serentak 2024.

Sebagian besar hoaks terkait isu “elite global”, “proxy asing”, dan tuduhan terhadap keluarga politik tertentu.

Konspirasi digital ini dipakai untuk melemahkan legitimasi lawan politik sekaligus memobilisasi massa berbasis emosi.

✔Contoh:

Dalam Pemilu legislatif 2024 di Jawa Timur, salah satu caleg menjadi korban fitnah digital yang menyebarkan isu keterlibatan dirinya dengan “jaringan asing”. Fitnah itu viral di WhatsApp dan Facebook, merugikan reputasinya meski tidak terbukti benar

✔Implementasi:

Filsafat politik mendorong transparansi informasi dan fact-checking sebagai kewajiban negara, bukan sekadar inisiatif masyarakat sipil. Pemerintah perlu bekerja sama dengan platform digital untuk mengatur algoritma agar tidak hanya mengejar sensasi, tetapi juga menjaga etika publik.

Baca Juga: Analisis dan Kritik Filsafat Politik terhadap Sejarah Pemerintahan Otoritarianisme Terbaru 2025

Populisme: Ancaman Demokrasi dalam Balutan Digital

Populisme adalah strategi politik yang mengklaim berbicara atas nama “rakyat” untuk melawan “elite”. Menurut Mudde & Kaltwasser (2017), populisme bisa berwajah kanan maupun kiri, namun selalu berbahaya ketika digunakan untuk melemahkan institusi demokrasi.

✔Kritik aktual 2025:

Di Indonesia, populisme semakin kuat setelah muncul figur-figur politik baru pasca pemerintahan Jokowi.

Narasi rakyat vs elite kembali dipakai, tetapi ironisnya populisme justru menguatkan praktik politik dinasti dan oligarki.

Kampanye digital berbasis meme, jargon, dan disinformasi membuat publik semakin emosional, bukan rasional.

✔Contoh:

Pada 2025, sejumlah calon kepala daerah menggunakan TikTok dan Instagram untuk menyebarkan narasi populis yang menjelekkan “elite lama”, padahal mereka sendiri berasal dari keluarga elite politik.

✔Implementasi:

Menggunakan filsafat politik Aristoteles tentang virtue (kebajikan politik), kita bisa menuntut agar politisi tidak hanya mengandalkan popularitas digital, tetapi juga menunjukkan rekam jejak moral dan etika politik.

Perspektif Filsuf Besar tentang Konspirasi dan Populisme

✔Plato: Bahaya Hoaks dalam Demokrasi

Plato dalam Republik sudah mengingatkan bahwa demokrasi bisa hancur jika rakyat mudah termakan informasi palsu. Baginya, pemimpin harus memiliki kebijaksanaan, bukan sekadar mengejar suara.

Kritik aktual:

Viralnya hoaks pemilu 2024 membuktikan bahwa rakyat sering salah memilih karena terjebak informasi palsu.

Contoh:

Isu “kecurangan KPU” yang diviralkan tanpa bukti sempat memicu demonstrasi besar-besaran.

Implementasi:

Menguatkan literasi politik berbasis filsafat sejak dini, agar masyarakat memahami perbedaan antara opini, fakta, dan manipulasi.

✔Habermas: Ruang Publik Digital yang Terkorupsi

Habermas mengajarkan pentingnya ruang publik yang rasional, di mana argumen dibangun atas dasar fakta dan etika.

Kritik aktual:

Ruang publik digital Indonesia pada 2025 dikuasai oleh buzzer politik, sehingga diskursus sehat kalah oleh propaganda berbayar.

Contoh:

Trending topic di X/Twitter seringkali hasil orkestrasi, bukan aspirasi alami masyarakat.

Implementasi:

Perlu regulasi transparansi algoritma media sosial, sehingga publik tahu konten mana yang organik dan mana yang sponsor politik.

✔Hannah Arendt: Konspirasi sebagai Totalitarianisme Baru

Arendt menegaskan bahwa propaganda dan kebohongan adalah ciri utama totalitarianisme.

Kritik aktual:

Normalisasi kebohongan politik di Indonesia misalnya framing media partisan terkait kasus korupsi laptop Rp 1,9 triliun tahun 2024 menunjukkan gejala berbahaya.

Contoh:

Media tertentu membela elite politik meski jelas ada dugaan korupsi, dengan menutupi fakta lewat narasi pengalihan isu.

Implementasi:

Memperkuat media independen dan melindungi jurnalis dari kriminalisasi.

Baca Juga: Konspirasi vs Demokrasi: Perspektif Filsafat Politik Kontemporer Terbaru 2025

Strategi Menghadang Konspirasi Digital dan Populisme

✔Pendidikan Kritis dan Literasi Digital

Filsafat politik mendorong masyarakat untuk berpikir kritis. Literasi digital bukan hanya soal membedakan hoaks dan fakta, tetapi juga memahami kepentingan politik di balik narasi.

Kritik: Program literasi digital pemerintah lebih banyak seremonial, tidak menyentuh akar masalah.

Contoh: Meski ada kampanye anti-hoaks, hoaks tetap merajalela menjelang pemilu.

Implementasi: Integrasi kurikulum filsafat politik dalam pendidikan.

✔Regulasi Digital Berkeadilan

Hukum harus melindungi masyarakat dari disinformasi, bukan membungkam kritik.

Kritik: UU ITE masih digunakan untuk menjerat aktivis.

Contoh: Kasus aktivis mahasiswa yang ditangkap karena kritik terhadap pejabat lokal.

Implementasi: Revisi UU ITE agar lebih adil dan transparan.

✔Penguatan Ruang Publik Rasional

Demokrasi sehat hanya mungkin jika ruang publik rasional ditegakkan.

Kritik: Dominasi buzzer politik membuat ruang publik digital tidak sehat.

Contoh: Polarisasi politik di media sosial semakin tajam pada 2025.

Implementasi: Memberikan insentif bagi media independen dan komunitas diskusi publik berbasis argumentasi, bukan propaganda.


Kesimpulan

Kajian filsafat politik sangat relevan dalam menghadapi ancaman konspirasi digital dan populisme 2025. Plato, Habermas, hingga Arendt memberi kita panduan teoretis untuk menilai bahaya informasi palsu dan propaganda digital.

Demokrasi hanya bisa bertahan jika masyarakat kritis, hukum ditegakkan dengan adil, dan ruang publik dijaga tetap sehat. Tanpa itu, demokrasi berpotensi tergelincir menjadi otoritarianisme digital yang justru bertentangan dengan cita-cita kebebasan politik.

Publisher/Penulis:

[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]

Referensi

Sunstein, C. (2014). Conspiracy Theories and Other Dangerous Ideas. Harvard University Press.

Mudde, C. & Kaltwasser, C. (2017). Populism: A Very Short Introduction. Oxford University Press.

Habermas, J. (1991). The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press.

Arendt, H. (1951). The Origins of Totalitarianism. Harcourt.

Heywood, A. (2017). Political Ideologies: An Introduction. Palgrave.

BPS (2025). Indeks Demokrasi Indonesia.

Kominfo RI (2024). Laporan Hoaks Digital.

LSI (2025). Populisme dan Polarisasi Politik di Indonesia.