Studi Perbandingan Gerakan Sosial Mahasiswa Indonesia 1998 dan 2025, Kemajuan atau Kemunduran?
![]() |
(Ilustrasi 3D gerakan mahasiswa Indonesia 1998 dan 2025 dalam bentuk kartun nyata hidup.) |
Artikel ini akan membahas studi perbandingan gerakan sosial mahasiswa Indonesia tahun 1998 dan 2025, termasuk faktor pendorong, strategi, peran teknologi, hingga tantangan. Dengan analisis mendalam, pembaca akan memahami perubahan orientasi mahasiswa sekaligus menemukan solusi untuk membangkitkan kembali peran mereka sebagai agen perubahan.
Baca Artikel Lainnya: Kajian Mendalam Dampak Korupsi Terhadap Struktur Sosial dan Kepercayaan Publik
Latar Belakang Gerakan Mahasiswa 1998
Pada tahun 1998, Indonesia dilanda krisis moneter, inflasi tinggi, harga kebutuhan pokok melambung, serta ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Mahasiswa mengambil peran penting dengan:
Aksi demonstrasi besar-besaran.
Ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR sebagai simbol perlawanan terhadap rezim.
Tuntutan reformasi.
Fokus utama pada penghapusan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), amandemen UUD 1945, pembatasan masa jabatan presiden, serta penegakan demokrasi.
Contoh nyata: Tragedi Trisakti (12 Mei 1998) menjadi momentum emosional yang memicu solidaritas nasional setelah empat mahasiswa gugur.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, gerakan mahasiswa 1998 merupakan akumulasi kemarahan publik yang berhasil dimobilisasi secara masif dan terstruktur.
Baca Juga: Fenomena Black Campaign Politik di Indonesia: Dampak Sosial pada Masyarakat
Latar Belakang Gerakan Mahasiswa 2025
Situasi Indonesia tahun 2025 berbeda dengan 1998. Negara relatif stabil secara politik, ekonomi tumbuh meski penuh tantangan global, dan akses informasi terbuka luas. Namun, peran mahasiswa dalam gerakan sosial mengalami perubahan signifikan:
Aksi lebih sporadis.
Gerakan mahasiswa sering kali bersifat reaktif terhadap isu tertentu, seperti kenaikan harga BBM, isu lingkungan, atau kebijakan kontroversial pemerintah.
Media sosial sebagai panggung utama.
Aspirasi lebih banyak disuarakan lewat Twitter, Instagram, dan TikTok ketimbang aksi turun ke jalan.
Apatisme meningkat.
Banyak mahasiswa lebih fokus pada kuliah, karier, dan hiburan digital, sehingga isu sosial dianggap tidak terlalu mendesak.
Contoh nyata: Demonstrasi menolak RKUHP (2019–2020) menunjukkan semangat, tetapi di tahun 2025, partisipasi mahasiswa berkurang drastis karena dianggap "ribet" dan lebih nyaman menyalurkan opini secara online.
Menurut pengamat politik Denny JA, mahasiswa era digital menghadapi dilema antara idealisme dan pragmatisme, di mana kenyamanan pribadi sering mengalahkan kesadaran kolektif.
Baca Juga: Ide Produk UMKM: Resep dan Khasiat Jamu Herbal Alami untuk Batu Empedu Dini Lengkap 2025
Perbandingan Gerakan Mahasiswa 1998 dan 2025
✔Faktor Pendorong Gerakan
1998: Krisis ekonomi parah, otoritarianisme, pelanggaran HAM.
2025: Isu lingkungan, korupsi, kesenjangan sosial, dan kebijakan kontroversial.
Contoh: Mahasiswa 1998 berjuang melawan rezim otoriter, sementara mahasiswa 2025 lebih banyak fokus pada isu tematik seperti krisis iklim atau pendidikan.
✔Metode Perjuangan
1998: Demonstrasi fisik, pendudukan gedung DPR, orasi massal.
2025: Aksi digital (petisi online, trending topic, podcast kritis).
Contoh: Tagar #ReformasiDikorupsi sempat viral, namun efeknya tidak sebesar aksi fisik 1998.
✔Peran Media
1998: Media cetak dan televisi terbatas, namun tetap menjadi corong perjuangan mahasiswa.
2025: Media sosial mendominasi, informasi cepat tersebar, tapi juga rawan hoaks.
Contoh: Di 1998, berita mahasiswa dilarang muncul secara bebas. Tahun 2025, justru kebanjiran informasi, sehingga isu mahasiswa sering kalah oleh tren hiburan.
✔Kepemimpinan Gerakan
1998: Ada tokoh sentral seperti aktivis kampus UI, ITB, UGM yang memimpin aksi.
2025: Kepemimpinan cenderung cair, tanpa figur tunggal yang menonjol.
Contoh: 1998 ada tokoh seperti Budiman Sudjatmiko dan Haris Azhar, sementara 2025 lebih pada "kolektif tanpa pemimpin."
✔Dampak Terhadap Masyarakat
1998: Reformasi politik, tumbangnya Soeharto, demokratisasi.
2025: Dampak sering terbatas, isu cepat hilang, hanya viral sesaat.
Contoh: Reformasi menghasilkan perubahan sistem pemerintahan. Gerakan 2025 cenderung berakhir dengan "isu trending" yang cepat dilupakan publik.
Kritik terhadap Kondisi Mahasiswa 2025
-Meski memiliki akses teknologi dan jaringan global, mahasiswa era 2025 sering dikritik karena:
-Apatis terhadap isu nasional. Banyak lebih fokus pada karier pribadi, startup, atau hiburan digital.
-Kurang keberanian turun ke jalan. Aksi langsung dianggap tidak praktis dan berisiko.
-Gerakan terfragmentasi. Isu yang diangkat hanya mewakili kelompok kecil, bukan perjuangan nasional.
Menurut pengamat sosial, Prof. Ariel Heryanto, mahasiswa kini mengalami krisis solidaritas. Mereka punya potensi, namun minim kemauan untuk mengorganisir diri secara konsisten.
Solusi Membangkitkan Gerakan Mahasiswa
-Menghidupkan kembali kesadaran kolektif. Pendidikan politik di kampus harus diperkuat.
-Menggabungkan aksi digital dan fisik. Gerakan hybrid bisa lebih efektif
-Membangun kepemimpinan baru. Figur muda perlu tampil sebagai ikon perjuangan.
-Kolaborasi lintas sektor. Mahasiswa harus menggandeng masyarakat sipil, NGO, dan komunitas lokal.
Contoh: Gerakan advokasi lingkungan bisa dilakukan dengan kombinasi aksi di lapangan + kampanye online untuk mendapatkan dukungan luas.
Kesimpulan
Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 dan 2025 menunjukkan perbedaan mencolok. 1998 identik dengan keberanian, konsistensi, dan keberhasilan menggulingkan rezim. Sedangkan 2025 lebih identik dengan gerakan digital yang cepat, namun sering kehilangan daya tekan.
Meski begitu, mahasiswa tetap memiliki peran strategis sebagai agen perubahan sosial. Tantangannya adalah bagaimana mengatasi apatisme dan memanfaatkan teknologi digital untuk melahirkan gerakan yang lebih kuat, berkelanjutan, dan relevan dengan kebutuhan bangsa.
Dengan belajar dari 1998, mahasiswa 2025 dapat menemukan kembali ruh perjuangan mereka, bukan hanya untuk tren sesaat, tetapi demi masa depan demokrasi Indonesia.
Publisher/Penulis:
[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
Referensi
Asvi Warman Adam, Sejarah dan Gerakan Mahasiswa 1998.
Ariel Heryanto, Budaya Pop dan Gerakan Sosial di Indonesia.
Denny JA, Analisis Politik Era Digital.
Haris Azhar, wawancara publik tentang aktivisme mahasiswa.
Tempo & Kompas, Arsip Gerakan Mahasiswa 1998–2025.