Analisis dan Kritik Filsafat Politik terhadap Sejarah Pemerintahan Otoritarianisme Terbaru 2025

Analisis filsafat politik 2025 tentang sejarah otoritarianisme, kritik Aristoteles, Rawls, Habermas, dan Pancasila terhadap bahaya rezim otoriter.

(Ilustrasi 3D pemerintahan otoritarianisme dengan istana rakyat dan simbol kekuasaan)
PortalJatim24.com - Pendidikan - Otoritarianisme adalah salah satu model pemerintahan yang berlawanan dengan prinsip demokrasi. Dalam sejarah politik dunia, sistem ini banyak dijumpai dalam bentuk rezim militer, diktator personal, hingga pemerintahan satu partai. Pemerintahan otoritarian ditandai dengan konsentrasi kekuasaan pada satu pemimpin atau kelompok kecil, minimnya partisipasi rakyat, serta melemahnya kebebasan sipil.

Di era 2025, kajian tentang otoritarianisme kembali relevan karena sejumlah negara, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan konsolidasi demokrasi. Gelombang populisme, dinasti politik, dan melemahnya oposisi menimbulkan pertanyaan: apakah demokrasi kita menuju kembali ke arah otoritarianisme?

Artikel ini akan membahas sejarah otoritarianisme, perspektif filsafat politik, kritik para ahli, contoh nyata, serta implikasi bagi masyarakat modern.

Baca Artikel Lainnya: Analisis dan Kritik Filosofis terhadap Politik Dinasti di Indonesia, Bahaya?

Sejarah Pemerintahan Otoritarianisme

✔Awal Mula dalam Peradaban Kuno

Bentuk pemerintahan otoritarian sudah dikenal sejak zaman kuno, misalnya kerajaan absolut yang berpusat pada kekuasaan raja. Pemimpin dianggap sebagai perwakilan dewa atau memiliki hak ilahi untuk berkuasa.

Contoh:

Mesir kuno di bawah Firaun, atau Kekaisaran Romawi di masa Kaisar Nero, merupakan bentuk awal otoritarianisme klasik.

Kritik:

Aristoteles dalam Politics menilai pemerintahan seperti ini sebagai tirani, bentuk menyimpang dari monarki yang seharusnya melayani rakyat.

✔Otoritarianisme Abad Pertengahan dan Modern Awal

Di Eropa, otoritarianisme berkembang melalui kerajaan absolut yang menolak pembatasan kekuasaan.

Contoh:

Louis XIV dari Prancis dengan semboyan “L’État, c’est moi” (Negara adalah saya) adalah simbol otoritarianisme absolut.

Kritik:

John Locke menentang konsep ini melalui teori hak asasi manusia dan kontrak sosial, menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk mengganti pemerintah tiran.

✔Otoritarianisme Abad ke-20

Abad ke-20 ditandai dengan lahirnya rezim totalitarian, sebuah bentuk ekstrem dari otoritarianisme.

Contoh:

Hitler di Jerman Nazi, Mussolini di Italia Fasis, hingga Stalin di Uni Soviet. Semua memusatkan kekuasaan pada satu figur dan menekan oposisi.

Kritik:

Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism menyebut sistem ini berbahaya karena menghancurkan kebebasan individu dan membentuk masyarakat yang terisolasi.

✔Otoritarianisme dalam Konteks Indonesia

Era Orde Lama dan Orde Baru

Indonesia mengalami fase otoritarianisme, terutama pada Orde Baru di bawah Soeharto.

Contoh:

Kekuasaan Soeharto (1966–1998) ditandai dengan dominasi Golkar, kontrol ketat media, serta represif terhadap oposisi.

Kritik:

Franz Magnis-Suseno menilai Orde Baru sebagai bentuk otoritarianisme yang menggunakan demokrasi sebagai formalitas, bukan substansi.

Era Reformasi hingga 2025

Reformasi 1998 membawa harapan demokrasi, namun tantangan otoritarianisme belum hilang.

Contoh:

Pelemahan KPK, politik dinasti, dan penguasaan sumber daya oleh elite partai menunjukkan gejala “otoritarianisme baru”.

Kritik:

Jurgen Habermas akan mengkritik lemahnya ruang publik di mana rakyat kehilangan akses untuk terlibat dalam diskursus politik bebas.

Baca Juga: Etika Pancasila vs Politik Dinasti: Pandangan Filsafat Moral Terbaru 2025

Perspektif Filsafat Politik terhadap Otoritarianisme

✔Aristoteles: Politik Tirani vs Politik Kebajikan

Aristoteles membedakan antara pemerintahan yang sahih (monarki, aristokrasi, politeia) dan menyimpang (tirani, oligarki, demokrasi ekstrem).

Contoh:

Otoritarianisme modern mirip dengan tirani Aristoteles: kekuasaan dipakai untuk kepentingan penguasa, bukan rakyat.

Kritik:

Dari sudut pandang Aristoteles, otoritarianisme menghambat pencapaian eudaimonia (kehidupan baik) karena menekan partisipasi politik rakyat.

✔John Rawls: Keadilan sebagai Fairness

Rawls menekankan kesetaraan kesempatan dan prinsip perbedaan.

Contoh:

Dalam sistem otoriter, hanya kelompok tertentu yang mendapat akses politik.

Kritik:

Rawls akan menyebut otoritarianisme sebagai sistem yang gagal mewujudkan keadilan distributif karena hak-hak dasar warga negara diabaikan.

✔Habermas: Ruang Publik yang Terkunci

Habermas melihat demokrasi sehat membutuhkan ruang diskursus bebas.

Contoh:

Di rezim otoriter, media dibungkam dan oposisi dilarang.

Kritik:

Habermas menilai otoritarianisme sebagai distorsi komunikasi politik, di mana kekuasaan menggantikan argumentasi rasional.

✔Etika Pancasila: Demokrasi Bermoral

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menekankan kerakyatan dan keadilan sosial.

Contoh:

Politik dinasti, oligarki, atau monopoli kekuasaan keluarga jelas bertentangan dengan nilai Pancasila.

Kritik:

Menurut Kaelan, Pancasila mengandung prinsip etis bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak turun-temurun. Otoritarianisme berarti pengkhianatan terhadap amanah rakyat.

Baca Juga: Konspirasi vs Demokrasi: Perspektif Filsafat Politik Kontemporer Terbaru 2025

Bahaya Pemerintahan Otoritarianisme

✔Hilangnya Kebebasan Sipil

Rezim otoriter membatasi kebebasan berpendapat, pers, dan berkumpul.

Contoh:

Sensor media di Orde Baru, hingga pembungkaman aktivis pro-demokrasi.

Kritik:

Menurut Locke, tanpa kebebasan sipil, kontrak sosial antara rakyat dan negara runtuh.

✔Korupsi dan Nepotisme

Konsentrasi kekuasaan mendorong penyalahgunaan wewenang.

Contoh:

Era Soeharto ditandai dengan praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang merajalela.

Kritik:

Magnis-Suseno menyebut otoritarianisme membuka peluang besar bagi penyalahgunaan kekuasaan tanpa mekanisme kontrol.

✔Melemahnya Partisipasi Politik

Rakyat hanya menjadi penonton, bukan pelaku politik.

Contoh:

Pemilu Orde Baru hanya formalitas dengan kemenangan mutlak Golkar.

Kritik:

Habermas menilai ini sebagai kegagalan demokrasi deliberatif karena aspirasi rakyat tidak pernah sungguh-sungguh didengar.

✔Krisis Legitimasi

Rezim otoriter sering tumbang karena krisis legitimasi.

Contoh:

Soeharto jatuh 1998 setelah demonstrasi besar dan krisis ekonomi.

Kritik:

Aristoteles akan menyebut rezim otoriter tidak stabil karena berdiri di atas kepentingan pribadi, bukan kepentingan bersama.

Solusi Filosofis Menghadapi Otoritarianisme

✔Penguatan Demokrasi Substansial

Demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur, tapi harus menjamin keadilan.

Contoh: Reformasi pemilu yang transparan.

Kritik: Rawls menilai demokrasi substantif lebih penting daripada demokrasi prosedural semata.

✔Pendidikan Politik dan Literasi Publik

Rakyat perlu memahami hak-haknya.

Contoh: Program literasi politik di kalangan pemuda.

Kritik: Habermas menegaskan literasi publik memperkuat ruang diskursus.

✔Reformasi Partai dan Sistem Hukum

Partai sehat mencegah otoritarianisme.

Contoh: Rekrutmen berbasis meritokrasi.

Kritik: Kaelan menilai partai politik harus selaras dengan etika Pancasila.

✔Peran Masyarakat Sipil dan Media Independen

Media dan LSM menjadi pilar kontrol.

Contoh: Peran pers independen pasca reformasi.

Kritik: Magnis-Suseno menilai masyarakat sipil kuat adalah benteng utama melawan tirani.

Kesimpulan

Sejarah otoritarianisme menunjukkan betapa berbahayanya konsentrasi kekuasaan tanpa kontrol. Dari Mesir kuno hingga Orde Baru, pola otoriter selalu berujung pada represi, ketidakadilan, dan krisis legitimasi.

Dari perspektif filsafat politik, Aristoteles, Rawls, Habermas, hingga etika Pancasila, semua sepakat bahwa pemerintahan otoritarian bertentangan dengan prinsip kebebasan, keadilan, dan kerakyatan.

Tantangan 2025 adalah memastikan Indonesia tidak kembali ke pola otoritarianisme baru. Reformasi partai, literasi politik rakyat, penguatan masyarakat sipil, serta regulasi berbasis etika Pancasila menjadi solusi fundamental agar demokrasi tetap hidup.

Publisher/Penulis:

[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]

Daftar Referensi

Aristoteles. (1990). Politics. Pustaka Pelajar.

Locke, J. (1988). Two Treatises of Government. Cambridge University Press.

Arendt, H. (1951). The Origins of Totalitarianism. Harcourt.

Rawls, J. (1999). A Theory of Justice. Harvard University Press.

Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms. MIT Press.

Magnis-Suseno, F. (1999). Etika Politik. Gramedia.

Kaelan, M.S. (2013). Pancasila: Filsafat dan Ideologi. Paradigma.

Winters, J. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

Levitsky, S. & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. Crown.

Haryatmoko. (2016). Etika Politik dan Kekuasaan. Kompas.

Komnas HAM. (2020). Laporan Reformasi HAM dan Demokrasi. Jakarta.