Etika Pancasila vs Politik Dinasti: Pandangan Filsafat Moral Terbaru 2025
![]() |
| (Ilustrasi 3D etika Pancasila dan politik dinasti dalam filsafat moral 2025) |
Di tahun 2025, fenomena ini semakin menguat dan menimbulkan pertanyaan besar: apakah politik dinasti sejalan dengan etika Pancasila, atau justru bertentangan dengan prinsip keadilan dan demokrasi yang dikandungnya?
Artikel ini membahas persoalan tersebut dengan perspektif filsafat moral dan politik kontemporer.
Baca Artikel Lainnya: Konspirasi vs Demokrasi: Perspektif Filsafat Politik Kontemporer Terbaru 2025
Etika Pancasila sebagai Fondasi Moral Bangsa
✔Pancasila sebagai Etika Politik
Menurut Notonagoro (1975), Pancasila tidak hanya dasar negara, melainkan juga sistem etika politik yang memandu arah kebijakan.
Sila ke-2 (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila ke-5 (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) menegaskan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya kepentingan kelompok atau keluarga.
Contoh implementasi 2025: program pemerataan dana desa berbasis kebutuhan masyarakat, bukan berdasarkan afiliasi politik.
✔Keadilan Sosial dalam Perspektif Amartya Sen
Filsuf kontemporer Amartya Sen (2009, The Idea of Justice) menyatakan bahwa keadilan harus dilihat sebagai akses nyata masyarakat terhadap kesempatan, bukan sekadar prosedur formal.
Menurut Sen, politik dinasti berpotensi menghambat kesempatan warga lain untuk ikut serta dalam kompetisi politik yang adil.
Contoh implementasi: pembatasan praktik nepotisme dalam rekrutmen pejabat publik di level daerah.
✔Pancasila dan Demokrasi Substantif
Menurut Soedjatmoko (1984), demokrasi dalam konteks Pancasila bukan sekadar pemilu, tetapi demokrasi substantif yang menjamin keterwakilan rakyat dan kesejahteraan bersama.
Implikasi: jika politik dinasti mengurangi kualitas demokrasi, maka ia bertentangan dengan semangat Pancasila.
Baca Juga: Menggali Prinsip Filsafat Politik Locke tentang Kebebasan dalam Demokrasi Kontemporer 2025
Politik Dinasti dalam Perspektif Filsafat Politik
✔Definisi Politik Dinasti
Menurut Jeffrey Winters (2011, Oligarchy), politik dinasti adalah bentuk oligarki keluarga, di mana kekuasaan diwariskan secara turun-temurun.
Ciri utama: terbatasnya akses kompetisi politik hanya pada kelompok keluarga tertentu.
✔Politik Dinasti dan Demokrasi Minimalis
Menurut Joseph Schumpeter (1942, Capitalism, Socialism and Democracy), demokrasi minimalis hanya berarti kompetisi elektoral. Politik dinasti mungkin sah secara prosedural, tetapi sering kali tidak adil secara moral.
Contoh implementasi 2025: anak, menantu, dan kerabat pejabat petahana mencalonkan diri dalam pilkada dengan dukungan mesin politik dan modal besar.
✔Kritik dari Perspektif John Rawls
John Rawls (1971, A Theory of Justice) menekankan prinsip fair equality of opportunity.
Menurut Rawls, politik dinasti melanggar prinsip ini karena menciptakan ketidaksetaraan struktural.
Contoh: generasi muda dengan kapasitas memadai kalah bersaing karena lawannya memiliki “warisan politik” berupa jaringan dan sumber daya.
Etika Pancasila vs Politik Dinasti
✔Sila Kemanusiaan dan Politik Dinasti
Masalah: politik dinasti cenderung mengutamakan kepentingan keluarga daripada kemanusiaan universal.
Menurut Magnis-Suseno (1999, Etika Politik), politik harus berbasis pada tanggung jawab moral terhadap rakyat, bukan pada relasi kekerabatan.
Implementasi: penolakan praktik nepotisme dalam penunjukan pejabat birokrasi.
✔Sila Kerakyatan dan Demokrasi
Masalah: politik dinasti mengurangi esensi kerakyatan yang menuntut partisipasi luas.
Menurut Miriam Budiardjo (2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik), demokrasi sejati membutuhkan kompetisi yang terbuka dan setara.
Contoh nyata: rendahnya jumlah kandidat independen dalam pilkada dibandingkan kandidat dari keluarga pejabat.
✔Sila Keadilan Sosial dan Oligarki
Masalah: politik dinasti memperbesar kesenjangan kekuasaan dan ekonomi.
Menurut Daniel Ziblatt & Steven Levitsky (2018, How Democracies Die), oligarki keluarga sering melemahkan demokrasi karena kekuasaan terpusat.
Implementasi: regulasi KPU untuk membatasi konsentrasi kekuasaan di satu keluarga.
Baca Juga: Demokrasi Ideal Menurut Aristoteles yang Terabaikan dalam Politik Modern, Lengkap 2025
Perspektif Filsafat Moral Kontemporer 2025
✔Virtue Ethics (Aristoteles)
Prinsip: politik harus dijalankan berdasarkan keutamaan (virtue).
Masalah: politik dinasti sering lebih menekankan warisan nama daripada kapasitas moral.
Contoh implementasi: mewajibkan uji publik terhadap rekam jejak calon kepala daerah.
✔Deontologi (Immanuel Kant)
Prinsip: moralitas didasarkan pada kewajiban, bukan hasil.
Menurut Kant (1785, Groundwork of the Metaphysics of Morals), politik dinasti tidak etis jika didasarkan pada kepentingan pribadi keluarga, bukan kewajiban terhadap rakyat.
Contoh: pengaturan kode etik partai politik yang melarang pencalonan ganda dari keluarga inti.
✔Utilitarianisme (John Stuart Mill)
Prinsip: kebijakan dinilai benar jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi banyak orang.
Masalah: politik dinasti sering menghasilkan manfaat untuk keluarga kecil, bukan rakyat luas.
Contoh implementasi: program afirmasi bagi calon independen agar bisa bersaing dengan keluarga pejabat.
Tantangan Politik Indonesia 2025
✔Regulasi Lemah
Masalah: tidak ada aturan tegas melarang politik dinasti di level lokal.
Solusi: revisi UU Pilkada untuk memberi batasan proporsional.
✔Budaya Patronase
Masalah: masyarakat masih melihat politik sebagai warisan keluarga.
Menurut Clifford Geertz (1960, The Religion of Java), budaya patron-klien sangat kuat dalam masyarakat Jawa.
Solusi: pendidikan politik berbasis kesadaran kritis warga.
✔Kekuatan Modal dan Media
Masalah: dinasti politik memanfaatkan modal ekonomi dan media besar.
Menurut Pierre Bourdieu (1986, Forms of Capital), modal simbolik dan sosial memperkuat legitimasi politik keluarga elite.
Solusi: penguatan regulasi dana kampanye dan transparansi media.
Kesimpulan
Pertarungan antara etika Pancasila dan politik dinasti adalah ujian moral politik Indonesia di era kontemporer 2025.
Pancasila menuntut keadilan, kemanusiaan, dan partisipasi rakyat.
Politik dinasti sering kali mempersempit ruang demokrasi dan menghambat kesempatan setara.
Dari perspektif filsafat moral, politik dinasti sulit dibenarkan karena melanggar prinsip keadilan, kewajiban moral, dan kebahagiaan bersama. Jika Indonesia ingin tetap setia pada Pancasila, maka praktik politik dinasti harus dikritisi, dibatasi, dan diganti dengan sistem yang lebih terbuka, adil, dan bermoral.
Publisher/Penulis:
[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
Daftar Referensi
Kaelan, M.S. (2013). Pancasila: Yuridis Kenegaraan, Filsafat, dan Ideologi. Yogyakarta: Paradigma.
Magnis-Suseno, F. (1999). Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia.
Aristoteles. (1990). Politik. Terjemahan dari Politics. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rawls, J. (1999). A Theory of Justice. Harvard University Press.
Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. MIT Press.
Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2018). How Democracies Die. Crown Publishing.
Haryatmoko. (2016). Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas.
Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Fukuyama, F. (2022). Liberalism and Its Discontents. Farrar, Straus and Giroux.
Rahman, A. (2020). “Politik Dinasti dalam Demokrasi Lokal di Indonesia.” Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia, 5(2), 45–63.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2021). Kajian Politik Dinasti dan Dampaknya terhadap Korupsi di Indonesia. Jakarta: KPK.
Poespowardojo, S. (1989). Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Politik Bangsa. Jakarta: Gramedia.
