Konspirasi vs Demokrasi: Perspektif Filsafat Politik Kontemporer Terbaru 2025

Konspirasi vs demokrasi dalam perspektif filsafat politik kontemporer terbaru 2025. Analisis mendalam teori konspirasi, oligarki global.

(Ilustrasi 3D politik kontemporer tentang konspirasi dan demokrasi modern)
PortalJatim24.com - Pendidikan - Demokrasi kerap disebut sebagai bentuk pemerintahan terbaik untuk menjamin kebebasan rakyat. Namun, sejarah dan kenyataan politik kontemporer menunjukkan bahwa demokrasi juga sering dikelilingi oleh berbagai teori konspirasi: mulai dari manipulasi pemilu, oligarki tersembunyi, hingga kendali media oleh segelintir elite global.

Di tahun 2025, perkembangan teknologi digital, artificial intelligence (AI), dan big data membuat perdebatan antara konspirasi vs demokrasi semakin relevan. Artikel ini membahas perspektif filsafat politik kontemporer tentang bagaimana konspirasi muncul, bagaimana demokrasi menanggapi, dan apakah keduanya bisa berjalan beriringan.

Baca Artikel Lainnya: Menggali Prinsip Filsafat Politik Locke tentang Kebebasan dalam Demokrasi Kontemporer 2025

Demokrasi dalam Perspektif Filsafat Politik

✔Demokrasi sebagai Sistem Keterbukaan

Demokrasi didefinisikan oleh Robert A. Dahl (1998) sebagai sistem politik yang ditandai dengan partisipasi efektif, kesetaraan suara, akses informasi, dan kontrol warga terhadap agenda politik.

Menurut Dahl, keterbukaan informasi adalah jantung demokrasi. Tanpa akses informasi yang setara, rakyat mudah terjebak dalam disinformasi.

Contoh implementasi 2025: keterbukaan data pemerintah melalui portal digital, sistem e-budgeting, dan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik.

✔Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat

Jean-Jacques Rousseau (1762, The Social Contract) menekankan pentingnya kedaulatan rakyat (popular sovereignty) sebagai dasar demokrasi.

Menurut Rousseau, jika rakyat kehilangan kendali terhadap kebijakan, maka demokrasi hanya akan menjadi formalitas.

Implementasi 2025: penguatan mekanisme referendum digital dan musyawarah online berbasis teknologi blockchain agar keputusan politik benar-benar berasal dari rakyat.

Baca Juga: Demokrasi Ideal Menurut Aristoteles yang Terabaikan dalam Politik Modern, Lengkap 2025

Konspirasi dalam Politik: Realitas atau Ilusi?

✔Teori Konspirasi sebagai Produk Ketidakpercayaan

Cass Sunstein & Adrian Vermeule (2009) menyatakan bahwa teori konspirasi tumbuh subur di masyarakat ketika ada krisis kepercayaan terhadap institusi politik.

Menurut mereka, konspirasi muncul karena warga merasa informasi resmi tidak transparan.

Contoh: meningkatnya kepercayaan pada isu “pemilu dicurangi” di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat.

✔Konspirasi sebagai Alat Politik

Konspirasi bukan hanya teori, tetapi juga bisa menjadi alat politik untuk mengontrol opini publik.

Menurut Noam Chomsky (1997, Manufacturing Consent), elite politik dan media dapat membentuk narasi tertentu untuk membenarkan agenda kekuasaan.

Implementasi 2025: penggunaan bot media sosial untuk menyebarkan propaganda politik, yang memengaruhi persepsi publik terhadap isu demokrasi.

✔Konspirasi dan Oligarki Global

Menurut Jeffrey Winters (2011, Oligarchy), banyak negara modern tidak sepenuhnya demokratis, melainkan dikendalikan oleh segelintir elite ekonomi.

Dalam konteks ini, teori konspirasi tentang “global elite” sering kali berakar pada realitas oligarki yang nyata.

Contoh 2025: isu kendali perusahaan teknologi global (Google, Meta, OpenAI, dll.) terhadap kebijakan publik melalui lobi politik.

Konspirasi vs Demokrasi: Titik Temu dan Pertentangan

✔Demokrasi Menguatkan Transparansi, Konspirasi Menutupi Fakta

Demokrasi ideal menuntut akuntabilitas dan transparansi.

Konspirasi justru bergantung pada penyembunyian fakta dan manipulasi informasi.

Menurut Karl Popper (1945, The Open Society and Its Enemies), masyarakat terbuka adalah antidot utama terhadap pola pikir konspiratif.

✔Konspirasi Sebagai Ujian Demokrasi

Menurut Francis Fukuyama (2022, Liberalism and Its Discontents), konspirasi adalah ujian bagi demokrasi: apakah mampu menjawab keresahan publik atau justru melemah di dalamnya.

Demokrasi gagal jika hanya menutup isu konspirasi tanpa memberikan klarifikasi transparan.

✔Konspirasi dan Demokrasi Digital

Era digital melahirkan demokrasi siber sekaligus mempercepat penyebaran konspirasi.

Menurut Shoshana Zuboff (2019, The Age of Surveillance Capitalism), data digital digunakan bukan hanya untuk bisnis, tetapi juga untuk manipulasi politik.

Contoh 2025: algoritma media sosial yang lebih sering menyebarkan konten konspirasi karena dianggap lebih menarik (clickbait).

Relevansi Filsafat Politik Kontemporer 2025

✔Pandangan Habermas: Ruang Publik Rasional

Jürgen Habermas (1984, The Theory of Communicative Action) menekankan pentingnya ruang publik rasional untuk melawan dominasi kekuasaan.

Implementasi 2025: forum diskusi digital berbasis fact-checking yang memungkinkan warga berdialog berdasarkan data, bukan hoaks.

✔Perspektif Michel Foucault: Kekuasaan dan Pengetahuan

Foucault (1975, Discipline and Punish) menyatakan bahwa kekuasaan selalu terkait dengan produksi pengetahuan.

Konspirasi muncul ketika pengetahuan dikendalikan oleh elite.

Implementasi 2025: kebijakan open data global agar informasi tidak dimonopoli oleh negara atau korporasi besar.

✔Teori Kritis: Demokrasi Sebagai Proses Emansipasi

Menurut Theodor Adorno dan Max Horkheimer (1944, Dialectic of Enlightenment), konspirasi tumbuh ketika rasionalitas digunakan untuk dominasi, bukan emansipasi.

Demokrasi seharusnya berfungsi untuk membebaskan rakyat dari ketidakadilan struktural.

Baca Juga: Demonstrasi dalam Demokrasi: Bahaya Penumpang Gelap, Rekayasa Sosial, dan Pandangan Tan Malaka

Tantangan Demokrasi Kontemporer dalam Menghadapi Konspirasi

✔Krisis Kepercayaan Publik

Masalah: Rendahnya kepercayaan pada institusi pemerintahan dan media resmi.

Solusi: Meningkatkan akuntabilitas melalui audit publik dan pelibatan warga.

✔Polarisasi Politik

Masalah: Konspirasi sering dimanfaatkan untuk memecah belah masyarakat.

Menurut Mudde & Kaltwasser (2019), populisme memanfaatkan teori konspirasi untuk memperkuat dukungan.

Solusi: Pendidikan politik kritis yang menekankan literasi informasi.

✔Teknologi Digital yang Bias

Masalah: Algoritma media sosial lebih mementingkan konten sensasional.

Solusi: Regulasi platform digital agar lebih transparan, seperti yang dicoba Uni Eropa dengan Digital Services Act (2022).

Kesimpulan

Pertentangan antara konspirasi vs demokrasi adalah salah satu dilema terbesar politik modern 2025.

Demokrasi menuntut keterbukaan, partisipasi, dan keadilan.

Konspirasi berkembang melalui kerahasiaan, manipulasi, dan dominasi elite.

Filsafat politik kontemporer menunjukkan bahwa demokrasi tidak boleh hanya dilihat sebagai prosedur pemilu, tetapi harus menjadi proses emansipasi yang menjamin hak, transparansi, dan akses informasi rakyat.

Jika demokrasi gagal menjawab keresahan publik, maka konspirasi akan terus tumbuh subur. Tetapi jika demokrasi mampu menegakkan masyarakat terbuka ala Popper, ruang publik rasional ala Habermas, dan keadilan sosial ala Sen, maka demokrasi bisa tetap menjadi benteng melawan dominasi konspirasi.

Publisher/Penulis:

[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]

Daftar Referensi

Dahl, R. A. (1998). On Democracy. Yale University Press.

Rousseau, J.-J. (1762). The Social Contract. France: Marc-Michel Rey.

Sunstein, C. R., & Vermeule, A. (2009). Conspiracy Theories: Causes and Cures. Journal of Political Philosophy, 17(2), 202–227.

Chomsky, N., & Herman, E. S. (1997). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books.

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

Popper, K. (1945). The Open Society and Its Enemies. Routledge.

Fukuyama, F. (2022). Liberalism and Its Discontents. Farrar, Straus and Giroux.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. PublicAffairs.

Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action. Beacon Press.

Foucault, M. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (1944). Dialectic of Enlightenment. Social Studies Association.

Mudde, C., & Kaltwasser, C. R. (2019). Populism: A Very Short Introduction. Oxford University Press.

European Union. (2022). Digital Services Act (DSA). Official Journal of the European Union.