Kasus Korupsi PLTU Kalbar: Adik Jusuf Kalla dan Eks Dirut PLN Ditetapkan Sebagai Tersangka
Polri menetapkan adik Jusuf Kalla dan mantan Dirut PLN sebagai tersangka korupsi proyek PLTU 1 Kalbar dengan kerugian negara mencapai Rp1,35 triliun.
![]() |
| (Ilustrasi 3D realistis Halim Kalla di kantor dengan latar proyek PLTU Kalbar dan simbol Polri anti korupsi) |
PortalJatim24.com - Berita Terkini - Kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat kembali mencuat setelah Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri menetapkan empat orang tersangka. Di antara mereka terdapat Halim Kalla, adik dari mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, dan Fahmi Mochtar, mantan Direktur Utama PT PLN (Persero).
Menurut Kepala Kortastipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menunjukkan adanya kerugian negara sebesar Rp1,35 triliun dalam proyek PLTU 1 Kalbar. “Total kerugian keuangan negara mencapai Rp1,35 triliun dengan kurs saat ini,” ungkap Cahyono dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
Baca Berita Lainnya: Desa Pujiharjo di Kabupaten Malang Jadi Lokasi Strategis Program Kampung Nelayan Merah Putih Presiden Prabowo
Rincian Kerugian dan Modus Dugaan Korupsi
Dari hasil penyelidikan, proyek yang seharusnya menghasilkan output listrik 2x50 megawatt (MW) justru berakhir tanpa penyelesaian. Pihak PT PLN disebut telah mengucurkan dana sebesar 62,4 juta dolar AS (sekitar Rp1,03 triliun) dan Rp323,1 miliar kepada pihak swasta, yakni KSO BRN, tanpa hasil nyata.
Irjen Cahyono menjelaskan, proyek tersebut menggunakan skema Engineering Procurement Construction Commissioning (EPCC) artinya nilai proyek bergantung pada keberhasilan hasil akhir. “Karena output-nya tidak tercapai, maka proyek ini masuk kategori total loss,” jelasnya.
Empat Tersangka dan Dugaan Permufakatan Lelang
Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri Brigjen Totok Suharyanto menuturkan, ada empat tersangka dalam kasus ini:
Fahmi Mochtar (FM) - Mantan Direktur Utama PT PLN
Halim Kalla (HK) - Presiden Direktur PT BRN
RR - Direktur Utama PT BRN
HYL - Direktur Utama PT Praba Indopersada
Totok menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari pemufakatan lelang pembangunan PLTU 1 Kalbar pada tahun 2008. “Sebelum proses lelang, sudah ada kesepakatan untuk memenangkan PT BRN, padahal perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa KSO BRN-Alton-OJSC diduga direkayasa agar bisa lolos lelang, meski dua perusahaan di dalamnya tidak pernah benar-benar tergabung. Setelah penandatanganan kontrak, KSO BRN bahkan mengalihkan seluruh proyek kepada PT Praba Indopersada, yang juga tidak memiliki kapasitas teknis untuk membangun PLTU berskala besar.
Proyek Mangkrak, Uang Mengalir ke Rekening Swasta
Pada 11 Juni 2009, kontrak senilai 80,8 juta dolar AS dan Rp507 miliar resmi ditandatangani antara PLN dan KSO BRN. Namun, hingga batas kontrak pada Februari 2012, progres pembangunan baru mencapai 57 persen. Setelah dilakukan amandemen kontrak sebanyak 10 kali hingga 2018, pekerjaan tetap tidak selesai, dengan progres hanya 85,56 persen.
“Proyek ini sudah berhenti sejak 2016, namun pembayaran tetap dilakukan. Kami menemukan aliran dana dari rekening proyek ke sejumlah pihak swasta,” tegas Totok.
Sampai saat ini, PLTU 1 Kalbar belum bisa beroperasi. Sebagian bangunan dan peralatan proyek terbengkalai, mengalami kerusakan berat, dan berkarat. Kondisi ini menyebabkan negara mengalami kerugian besar karena investasi tidak menghasilkan manfaat bagi publik.
Status Hukum dan Langkah Selanjutnya
Meskipun telah berstatus tersangka, penyidik belum melakukan penahanan terhadap Halim Kalla maupun tersangka lainnya. Kortastipidkor Polri masih berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melengkapi berkas perkara dan memastikan konstruksi hukum yang kuat.
“Kami masih melengkapi berkas dan berkoordinasi dengan Kejaksaan. Setelah lengkap, baru kami ambil langkah lanjutan termasuk upaya penahanan,” ujar Irjen Cahyono.
Kasus korupsi PLTU Kalbar ini awalnya ditangani Polda Kalimantan Barat sejak 2021, namun kemudian diambil alih oleh Kortastipidkor Polri pada 2024 karena kompleksitas kasus dan nilai kerugian negara yang besar.
Baca Juga: KPK Tahan Empat Tersangka Kasus Korupsi Dana Hibah Pokmas Jatim, Kusnadi Diduga Terima Rp32,2 Miliar
Penegakan Hukum dan Komitmen Antikorupsi
Polri menegaskan komitmennya dalam menangani kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat BUMN maupun pengusaha nasional. “Kami memastikan tidak ada kompromi terhadap pelaku korupsi, siapa pun dia. Semua proses akan dilakukan secara transparan dan akuntabel,” tutup Irjen Cahyono.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan nama besar di dunia usaha dan mantan pejabat tinggi BUMN, serta menyoroti lemahnya pengawasan dalam proyek strategis nasional yang seharusnya menopang ketahanan energi nasional.
Publisher/Red:
[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
