Hari Santri Nasional 2025: Santri dan Kyai dalam Lintasan Sejarah, Basis Spirit Kemerdekaan Indonesia

Santri dan kyai bukan hanya tokoh agama, tetapi pejuang kemerdekaan yang menanamkan nilai kebangsaan, keislaman, dan peradaban bagi Indonesia.

(Ilustrasi 3D realistis landscape Hari Santri 2025 menampilkan santri dan kyai di pesantren)
PortalJatim24.com - Pendidikan - Sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran para santri dan pesantren. Dari masa penjajahan hingga era kemerdekaan, para santri dan kyai tidak hanya mengajarkan nilai-nilai agama, tetapi juga menjadi motor perjuangan bangsa. Dalam konteks modern, pesantren bahkan telah menjelma menjadi lembaga pendidikan yang adaptif terhadap zaman, tanpa meninggalkan akar tradisi Islam Nusantara.

Peringatan Hari Santri Nasional 2025 yang mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia” menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali semangat juang para santri di tengah tantangan global. Tema ini bukan sekadar slogan, tetapi refleksi dari peran historis dan prospektif santri dalam menjaga kemerdekaan dan membangun peradaban bangsa yang beradab, damai, dan maju.

Akar Historis Pesantren: Warisan Keilmuan dan Spirit Perjuangan

Awal Lahirnya Pesantren di Nusantara

Pesantren di Indonesia berakar dari tradisi Islam yang dibawa oleh para ulama dan wali sejak abad ke-14 Masehi. Salah satu tokoh penting pendiri sistem pesantren adalah Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Surabaya, yang mendirikan Pesantren Ampel Denta. Dari sinilah muncul jaringan pesantren di berbagai daerah seperti Giri (oleh Sunan Giri), Demak, Tuban, dan Cirebon.

Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, pesantren merupakan bentuk “lokalisasi Islam”  sistem pendidikan yang memadukan keilmuan Islam klasik dengan nilai-nilai sosial budaya Nusantara. Pesantren menjadi pusat pendidikan moral, sosial, dan keagamaan bagi masyarakat.

Sejarawan NU, KH Said Aqil Siroj, menegaskan bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga benteng ideologis umat. “Pesantren adalah tempat lahirnya manusia merdeka: merdeka dalam berpikir, beriman, dan berperilaku,” ujarnya dalam berbagai kesempatan.

Santri dan Kyai: Simbiosis Spiritualitas dan Nasionalisme

Peran Kyai sebagai Pembimbing Moral dan Sosial

Dalam struktur pesantren, kyai bukan sekadar guru agama, tetapi figur pemimpin spiritual, sosial, dan bahkan politik. Menurut Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren, kyai memegang posisi sentral karena menjadi sumber legitimasi moral bagi masyarakat. Kyai membimbing santri tidak hanya dalam ilmu agama, tetapi juga dalam akhlak dan perjuangan hidup.

Kyai memiliki karisma dan pengaruh besar di tengah masyarakat. Mereka menjadi rujukan dalam segala urusan, dari masalah keagamaan hingga kemasyarakatan. Hubungan antara kyai dan santri pun bersifat paternalistik-spiritual: didasari rasa hormat, cinta, dan pengabdian total.

Santri Sebagai Pejuang dan Penerus Nilai

Santri, sebagai murid dan penerus perjuangan kyai, memiliki peran ganda. Selain menuntut ilmu, mereka juga terlibat aktif dalam perjuangan sosial dan politik. Dalam sejarahnya, santri menjadi motor penggerak berbagai gerakan rakyat di masa penjajahan.

Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam autobiografinya Berangkat dari Pesantren, semangat santri tidak hanya lahir dari ajaran jihad fi sabilillah, tetapi juga dari kecintaan mendalam kepada tanah air. “Cinta tanah air adalah bagian dari iman,” menjadi prinsip yang tertanam kuat dalam jiwa santri.

Santri dan Perjuangan Kemerdekaan: Dari Resolusi Jihad hingga Republik Indonesia

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945

Peran paling monumental santri dalam sejarah nasional adalah lahirnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945. Seruan jihad ini dikeluarkan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.

Isi resolusi menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajahan adalah fardhu ‘ain (kewajiban individu) bagi setiap muslim. Seruan ini menjadi dasar moral dan religius bagi rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman kolonial Belanda dan Sekutu.

Sejarawan NU, KH Agus Sunyoto (penulis Atlas Walisongo dan Resolusi Jihad Santri), menjelaskan bahwa resolusi jihad bukan semata fatwa keagamaan, melainkan keputusan politik-keagamaan yang memiliki dampak nasional. “Resolusi Jihad adalah dokumen sejarah yang menjadi jembatan antara pesantren dan republik,” ungkapnya.

Pertempuran Surabaya dan Lahirnya Hari Pahlawan

Resolusi Jihad berujung pada meletusnya Pertempuran Surabaya 10 November 1945, salah satu pertempuran paling heroik dalam sejarah Indonesia. Ribuan santri dan laskar pesantren dari Jawa Timur, seperti Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan Barisan Kiai, turun ke medan perang dengan semangat jihad mempertahankan kemerdekaan.

KH Masykur, Menteri Agama pertama RI sekaligus tokoh NU, mencatat bahwa banyak pejuang gugur dengan takbir di bibir mereka. “Mereka berperang dengan niat ibadah, bukan hanya patriotisme, tapi keimanan,” tulisnya dalam Catatan Perjuangan Santri 1945.

Pertempuran ini menjadi bukti nyata bahwa santri adalah pejuang sejati yang menolak tunduk kepada penjajah. Karena itulah, tanggal 22 Oktober  hari ditetapkannya Resolusi Jihad  kemudian ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015.

Pesantren sebagai Benteng Peradaban dan Kemandirian

Pesantren dan Pendidikan Karakter

Pesantren memiliki sistem pendidikan yang unik dan berakar kuat pada nilai-nilai moral. Dalam pandangan KH Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari), pesantren harus menjadi tempat lahirnya manusia yang berilmu dan berakhlak mulia. Ia kemudian menggagas integrasi pendidikan agama dengan ilmu umum, yang menjadi cikal bakal sistem pendidikan nasional modern.

Menurut Dr. KH Abdul Mun’im DZ, sejarawan NU dan penulis Islam Nusantara dan Sejarah Kebangsaan, pesantren sejak dulu menjadi “pabrik manusia beradab.” Santri dididik tidak hanya untuk menjadi alim, tapi juga mandiri, jujur, disiplin, dan cinta tanah air. “Dari pesantren lahir manusia Indonesia seutuhnya,” ujarnya.

Pesantren dan Kemandirian Ekonomi

Tradisi kemandirian juga menjadi ciri khas pesantren. Santri dididik untuk hidup sederhana, bekerja keras, dan tidak bergantung pada negara atau pihak luar. Kini, pesantren-pesantren besar seperti Sidogiri, Gontor, dan Tebuireng mengembangkan koperasi, usaha tani, bahkan unit bisnis digital.

Menurut KH Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI yang juga ulama NU, pesantren adalah “lembaga pendidikan sekaligus lembaga ekonomi umat.” Pesantren menjadi pionir ekonomi berbasis komunitas, yang sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan ekonomi Islam.

Santri di Era Modern: Antara Tradisi dan Inovasi

Transformasi Digital Pesantren

Memasuki era revolusi industri 4.0, pesantren tidak tertinggal. Banyak pesantren kini membuka program digital entrepreneurship, teknologi informasi, dan ekonomi kreatif berbasis syariah. Santri kini mampu menulis, berbisnis online, hingga membuat aplikasi Islami.

KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Ketua Umum PBNU, menegaskan bahwa santri harus menjadi bagian dari perubahan global tanpa kehilangan jati dirinya. “Kita ingin melahirkan santri yang berilmu global, berakhlak lokal, dan berjiwa nasional,” kata Gus Yahya dalam pidatonya di Hari Santri 2023.

Santri dan Moderasi Beragama

Di tengah maraknya radikalisme dan konflik ideologi, santri memainkan peran strategis dalam menjaga moderasi beragama. Pesantren menjadi benteng Islam wasathiyah (moderat), yang menolak kekerasan dan menjunjung nilai kasih sayang.

Menurut KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), “Santri sejati adalah yang cinta damai, cinta ilmu, dan cinta tanah air.” Nilai-nilai ini menjadikan pesantren sebagai model Islam rahmatan lil ‘alamin yang diakui dunia internasional.

Hari Santri Nasional: Pengakuan Negara atas Jasa Santri

Penetapan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015 merupakan bentuk penghargaan negara terhadap jasa besar kaum santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam pidato resminya, Presiden Joko Widodo menyebut bahwa “santri dan pesantren telah membangun karakter bangsa Indonesia yang santun, religius, dan cinta tanah air.”

Setiap tahun, Hari Santri diperingati dengan apel nasional, kirab budaya, hingga doa bersama lintas pesantren. Peringatan ini bukan hanya seremoni, tetapi refleksi kebangsaan: bahwa kemerdekaan Indonesia tidak lahir dari perjuangan militer semata, tetapi juga spiritualitas, ilmu, dan moralitas pesantren.

Hari Santri 2025: Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia

Makna Tema dan Tantangan Global

Tema Hari Santri 2025 - Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia  mencerminkan dua tanggung jawab besar santri masa kini: menjaga kemerdekaan dari ancaman moral, digital, dan ideologis, serta berkontribusi pada kemajuan global.

Menurut Prof. KH Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, “Peradaban Islam Indonesia adalah peradaban yang damai dan inklusif. Santri berperan membawa wajah Islam yang ramah, bukan marah, ke panggung dunia.”

Santri dan Diplomasi Peradaban

Kini, santri tidak hanya berdakwah di pesantren, tapi juga di forum internasional, kampus global, dan ruang digital. Banyak alumni pesantren menjadi diplomat, akademisi, dan inovator yang memperkenalkan Islam Nusantara sebagai model peradaban yang seimbang antara iman, ilmu, dan amal.

Pesantren seperti Tebuireng, Gontor, Lirboyo, Al-Amin Prenduan, dan Darunnajah telah menjadi pusat studi global, bahkan menarik mahasiswa dari Asia, Afrika, hingga Eropa. Ini menunjukkan bahwa pesantren Indonesia kini menjadi bagian penting dari jaringan peradaban dunia.

Kesimpulan: Dari Pesantren untuk Dunia

Perjalanan panjang santri dan pesantren adalah kisah tentang keilmuan, perjuangan, dan kemanusiaan. Dari Resolusi Jihad 1945 hingga transformasi digital masa kini, santri tetap teguh menjadi penjaga nilai dan penggerak kemajuan bangsa.

Sebagaimana ditegaskan oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, ilmu tanpa akhlak adalah bencana, dan akhlak tanpa ilmu adalah kegelapan. Prinsip ini masih menjadi roh pesantren hingga kini  melahirkan generasi berilmu, beradab, dan cinta tanah air.

Hari Santri 2025 menjadi pengingat bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika bangsa ini mampu berdiri di atas nilai iman, ilmu, dan akhlak. Santri bukan hanya penjaga masa lalu, tetapi pembangun masa depan  mengawal Indonesia merdeka, menuju peradaban dunia.


Referensi dan Tokoh Rujukan

KH Hasyim Asy’ari - Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim

Azyumardi Azra - Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Zamakhsyari Dhofier - Tradisi Pesantren

KH Saifuddin Zuhri - Berangkat dari Pesantren

KH Agus Sunyoto - Atlas Walisongo dan Resolusi Jihad Santri

KH Abdul Mun’im DZ - Islam Nusantara dan Sejarah Kebangsaan

KH Said Aqil Siroj - Pesantren dan Kebangsaan

KH Ma’ruf Amin - Ekonomi Pesantren dan Kemandirian Umat

KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) - Risalah Cinta Santri

KH Yahya Cholil Staquf - Pidato Hari Santri PBNUerdekaan Indonesia