Usulan Presiden Tunjuk Kapolri Tanpa DPR Menguat, Pro-Kontra Mengemuka dari Purnawirawan hingga Parlemen

Wacana Presiden menunjuk Kapolri tanpa persetujuan DPR memicu pro kontra dari purnawirawan Polri, pengamat, dan parlemen.

(Ilustrasi kartun 3D Presiden Prabowo bersama Kapolri di tengah wacana penunjukan tanpa DPR)
PortalJatim24.com - Berita Terkini - Usulan agar Presiden dapat langsung memilih dan mengangkat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) tanpa melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat dan memicu perdebatan luas.

Wacana ini disuarakan oleh mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da’i Bachtiar yang mewakili Pusat Purnawirawan (PP) Polri, serta mendapat dukungan sebagian pengamat.

Namun, penolakan tegas datang dari DPR dan kalangan pemerhati demokrasi yang menilai mekanisme persetujuan parlemen merupakan amanat reformasi.

Baca Berita Lainnya: Perpol 10/2025 Dipersoalkan: Mahfud MD Sebut Bertentangan dengan Putusan MK, Pengamat Nilai Tetap Konstitusional.

Usulan Purnawirawan Polri: Kapolri Cukup Hak Prerogatif Presiden

Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da’i Bachtiar mengusulkan agar Presiden diberikan kewenangan penuh untuk menunjuk Kapolri tanpa harus meminta persetujuan DPR. Menurutnya, pemilihan Kapolri sejatinya merupakan hak prerogatif Presiden sebagai kepala pemerintahan.

“Pemilihan Kapolri itu kan Presiden toh, hak prerogatifnya Presiden. Tetapi Presiden harus mengirimkan ke DPR untuk minta persetujuan. Nah, ini jadi pertanyaan, apakah masih perlu aturan itu?” ujar Da’i saat ditemui di Gedung Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Jakarta Pusat, Rabu (10/12/2025).

Ia menilai proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR berpotensi menyeret jabatan Kapolri ke ranah politik. Menurut Da’i, Kapolri seharusnya dipilih murni berdasarkan persyaratan profesional dari internal Polri, tanpa beban politik.

Kekhawatiran Beban Politik dan Balas Jasa

Da’i Bachtiar juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa mekanisme persetujuan DPR dapat menimbulkan beban psikologis dan politik bagi Kapolri terpilih. Ia menilai potensi “balas jasa” pasca-persetujuan bisa memengaruhi independensi pimpinan Polri.

“Ini dikhawatirkan ada beban-beban yang dihadapi Kapolri setelah dipilih, karena mungkin ada balas jasa dan sebagainya di forum persetujuan itu. Walaupun tujuannya baik sebagai kontrol terhadap kewenangan Presiden,” ungkapnya.

Wacana tersebut disampaikan PP Polri usai pertemuan dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri, yang juga membahas masa depan tata kelola kepolisian di Indonesia.

Pengamat: Sejalan dengan Sistem Presidensial

Pandangan Da’i Bachtiar mendapat dukungan dari Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga. Ia menilai keterlibatan DPR dalam penetapan Kapolri sudah selayaknya ditinjau ulang.

“Kapolri adalah bagian dari eksekutif. Karena itu, sungguh ideal bila Kapolri hanya dipilih oleh Presiden sebagai pimpinan eksekutif,” ujar Jamiluddin, Sabtu (12/12/2025).

Menurutnya, sistem presidensial yang dianut Indonesia menempatkan Presiden sebagai pemegang kewenangan penuh dalam menentukan pimpinan eksekutif. Pelibatan DPR dalam uji kelayakan dinilai telah melampaui fungsi legislatif.

Baca Juga: Polda Metro Jaya: Penarikan Kendaraan di Jalan oleh Debt Collector Langgar Prosedur dan Hukum, Perlu Evaluasi SOP

Dinilai Mengaburkan Fungsi Pengawasan DPR

Jamiluddin menilai, ketika DPR ikut memilih dan menyetujui pimpinan eksekutif, maka fungsi pengawasan menjadi tidak optimal. DPR akan kesulitan bersikap objektif terhadap pejabat yang turut mereka pilih.

“Kalau semua pimpinan eksekutif dipilih dan ditetapkan Presiden, DPR tinggal mengawasi kinerjanya. Dengan begitu, check and balances justru bisa berjalan lebih optimal,” jelasnya.

Ia bahkan menyebut mekanisme serupa idealnya juga diterapkan pada jabatan strategis lain seperti Panglima TNI dan duta besar.

Sejarah Panjang Kapolri dan Perubahan Mekanisme Pengangkatan

Sejak Proklamasi Kemerdekaan, Polri telah mengalami berbagai perubahan struktural dan mekanisme pengangkatan pimpinan. Inspektur Polisi Kelas I Mochammad Jassin memproklamasikan berdirinya Pasukan Polisi Republik Indonesia pada 21 Agustus 1945 di Surabaya. Presiden Soekarno kemudian melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kapolri pertama pada 29 September 1945.

Sejak era Presiden Soekarno hingga pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tercatat 24 perwira tinggi pernah menjabat sebagai Kapolri. Mekanisme pengangkatan Kapolri melalui persetujuan DPR secara resmi diterapkan sejak 29 November 2001, pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, ketika Da’i Bachtiar sendiri menjabat Kapolri.

Hingga kini, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo masih menjabat sebagai Kapolri pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

DPR Tolak Usulan: Dianggap Bertentangan dengan Amanat Reformasi

Wacana penghapusan peran DPR menuai penolakan tegas dari Komisi III DPR RI. Ketua Komisi III DPR, Habiburrokhman, menilai usulan tersebut bersifat ahistoris dan bertentangan dengan semangat reformasi kepolisian.

“Pengangkatan Kapolri dengan persetujuan DPR adalah amanat reformasi, yang secara tegas diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000,” tegas Habiburrokhman, Senin (15/12/2025).

Ia menilai argumen yang menyebut persetujuan DPR sebagai bentuk intervensi politik tidak didukung data yang kuat.

Baca Juga: Ahli Hukum Desak KPK Tetapkan Yaqut Tersangka Dugaan Penyimpangan Kuota Haji: Audit BPK Dinilai Bukti Kuat

DPR: Persetujuan Parlemen Bagian dari Kontrol Demokratis

Habiburrokhman menegaskan DPR merupakan representasi konstitusional rakyat, sehingga keterlibatan parlemen dalam penunjukan Kapolri merupakan bentuk pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

“Kalau dengan mekanisme persetujuan DPR saja DPR dianggap terlalu lembek, lalu apa jadinya jika mekanisme itu dihapus sama sekali?” ujarnya.

Menurutnya, pengawasan DPR justru dibutuhkan agar kepolisian tetap akuntabel dan tidak berjalan tanpa kontrol.

Pengamat Intelijen: Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan

Kritik tajam juga datang dari Pengamat Intelijen dan Geopolitik, Amir Hamzah. Ia menilai pengangkatan Kapolri secara sepihak oleh Presiden berpotensi melemahkan demokrasi dan mekanisme checks and balances.

“Kalau Presiden bisa menunjuk Kapolri tanpa persetujuan DPR, potensi penyalahgunaan kekuasaan sangat besar. Polisi bisa kehilangan independensinya,” kata Amir, Senin (15/12/2025).

Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri secara jelas mensyaratkan persetujuan DPR dalam pengangkatan Kapolri.

Dinilai Mengancam Netralitas dan Reformasi Polri

Amir Hamzah menekankan bahwa reformasi kepolisian pasca-1998 bertujuan membangun Polri yang profesional, netral, dan bebas dari intervensi kekuasaan. Penghapusan peran DPR dinilai berisiko mengembalikan Polri ke dalam pusaran kekuasaan eksekutif.

“Demokrasi bukan soal efisiensi kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan itu dikontrol. Menghilangkan peran DPR justru melemahkan pengawasan,” tegasnya.

Ia juga mendorong partisipasi masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga HAM dalam proses seleksi Kapolri melalui mekanisme DPR.

Polemik Belum Berujung, Keputusan Masih Dinanti

Meski wacana penunjukan langsung Kapolri oleh Presiden terus menguat dan mendapat dukungan sebagian kalangan, hingga kini belum ada keputusan resmi dari pemerintah maupun perubahan regulasi. Perdebatan antara efektivitas eksekutif dan penguatan kontrol demokratis masih menjadi isu sentral.

Polemik ini diperkirakan akan terus bergulir, seiring tuntutan reformasi Polri dan penguatan demokrasi di tengah dinamika politik nasional.

Publisher/Red:

[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]