Badai Kritik Usai Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan: Sejarah, KKN, dan Pelanggaran HAM Dikupas Publik

Kontroversi muncul setelah Soeharto dianugerahi gelar pahlawan. Publik mengkritik rekam jejak KKN, HAM, dan sejarah Orde Baru yang kembali dipersoalka

(Ilustrasi 3D realistik badai kritik terhadap Soeharto usai dianugerahi gelar pahlawan)
PortalJatim24.com - Berita Terkini - Presiden Prabowo Subianto resmi menetapkan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/Tahun 2025. Keputusan yang diumumkan bertepatan dengan Hari Pahlawan ini langsung memicu silang pendapat di ruang publik, komunitas akademik, aktivis HAM, hingga para pengamat politik.

Rocky Gerung: Sejarah Kini Dipermainkan Survei

Pengamat politik Rocky Gerung mengkritik tajam hasil survei KedaiKOPI yang menyebut 80,7 persen publik setuju Soeharto menjadi pahlawan nasional.
Ia menilai penggunaan survei sebagai dasar legitimasi politik merupakan bentuk penyimpangan terhadap cara bangsa membaca sejarah.

Dalam tayangan di YouTube Rocky Gerung Official, ia menegaskan bahwa sejarah seharusnya tidak dijadikan permainan angka.

“Bahasa politik akhirnya hanya ditentukan hasil survei. Kita mulai menduga bahwa ada upaya bukan sekadar memalsukan sejarah, tapi mengubah sejarah menjadi permainan statistik,” ucap Rocky.

Ia juga menyoroti diamnya faksi kiri dalam kabinet saat ini yang menurutnya tidak berani menolak keputusan tersebut.

“Sekarang wacana dikendalikan lembaga survei. Matematika dijadikan alat pembenar nilai politik,” tambahnya.

Presiden Prabowo Kukuh: Soeharto Menerima Gelar Pahlawan Nasional

Penganugerahan gelar kepada Soeharto diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo di Istana Negara.

Sekretaris Militer Presiden, Wahyu Yudhayana, menjelaskan bahwa keputusan tersebut merupakan penghormatan atas jasa Soeharto dalam menjaga persatuan bangsa.

“Keputusan ini sebagai penghargaan yang tinggi atas jasa luar biasa dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa,” ujarnya.

Selain Soeharto, sembilan tokoh lain juga mendapatkan gelar serupa.

Namun, penetapan ini langsung berhadapan dengan kritik dari publik, aktivis, serta organisasi masyarakat sipil.

Kontras: Banyak Catatan Pelanggaran HAM Berat

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai Soeharto tidak layak menerima gelar pahlawan nasional.

Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, memaparkan berbagai catatan pelanggaran HAM berat selama era Orde Baru berdasarkan penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM.

Beberapa kasus yang disebut antara lain:

-Peristiwa 1965-1966

-Penembakan Misterius 1981–1985

-Tragedi Tanjung Priok 1984

-Peristiwa Talangsari, Lampung 1989

-Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989

-Penghilangan orang secara paksa 1997–1998

-Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II

-Kerusuhan Mei 1998

Selain itu, laporan KKR Aceh mencatat 1.792 tindakan kekerasan selama pemberlakuan DOM di Aceh (1989-1998).

“Operasi militer ini melahirkan penderitaan panjang bagi masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak,” kata Dimas.

Kontras juga menyoroti berbagai kasus lain, seperti pembunuhan Marsinah, pembreidelan media, hingga pelarangan organisasi mahasiswa.

YLBHI: Penetapan Mengangkangi Hukum dan Amanat Reformasi

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menilai pemberian gelar tersebut melanggar sejumlah regulasi dan putusan hukum.

Ia menyebut empat rujukan hukum yang dinilai diabaikan:

-Keppres 17/2022 yang mengakui terjadi pelanggaran HAM berat.

-TAP MPR X/1998 mengenai penyimpangan kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang di era Orde Baru.

TAP MPR XI/1998 terkait praktik KKN.

Putusan MA 140 PK/Pdt/2015 yang menyatakan Yayasan Supersemar melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar Rp4,4 triliun.

YLBHI juga mengutip laporan Stolen Asset Recovery Initiative (UNODC–Bank Dunia, 2007) yang menempatkan Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di abad ke-20.

“Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto adalah tindakan yang menyakiti rakyat dan mengkhianati konstitusi,” ujar Isnur.

IM57+ Institute: Pengaburan Sejarah Koruptif

Protes juga datang dari IM57+ Institute, organisasi mantan pegawai KPK.

Ketua IM57+, Lakso Anindito, menyoroti ironi pemberian gelar pahlawan di tengah upaya negara memulihkan aset kejahatan Soeharto.

“Ini preseden berbahaya. Pesannya, selama berkuasa, skandal apa pun dapat terhapus,” katanya.

Ia juga mempertanyakan apakah proses pemulihan aset negara ke depan akan dianggap menistakan gelar pahlawan.

IM57+ juga menilai pemerintah tidak memprioritaskan RUU Perampasan Aset yang justru krusial untuk pemberantasan korupsi.

Ledakan Sentimen Publik: Data Analitik DRONEMPERIT

Menurut hasil riset DRONEMPERIT (20 Oktober-7 November 2025) yang menganalisis percakapan di media online, Twitter/X, Facebook, Instagram, YouTube, dan Tiktok:

1. Media Online

64% sentimen positif

29% sentimen negatif

Didominasi dukungan prosedural dan narasi pemerintah, ormas, serta elite politik.

2. Media Sosial (agregat)

63% sentimen negatif

27% sentimen positif

Kritik didorong aktivis, akademisi, dan publik muda.

3. Twitter/X

63% negatif

Sorotan: pelanggaran HAM, warisan KKN, tragedi 1965, hingga kerusuhan Mei 1998.

4. Facebook

80% positif, 9% negatif

Narasi: stabilitas ekonomi, ketahanan pangan, dan nostalgia era Orde Baru.

5. Instagram

56% positif, 29% negatif

Dukungan didominasi narasi pembangunan dan swasembada pangan.

6. YouTube

62% positif

7. TikTok

77% positif

Lonjakan sentimen positif terjadi pasca dukungan dari PBNU, Muhammadiyah, dan mantan Presiden Jokowi pada 6 November.

Sementara itu, sentimen negatif memuncak pada 28 Oktober-6 November setelah koalisi masyarakat sipil melayangkan kritik keras terhadap potensi “pemutihan sejarah”.

Keputusan yang Membelah Persepsi Publik

Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menjadi isu besar yang membelah opini publik. Di satu sisi, Soeharto dianggap berhasil membawa stabilitas ekonomi dan konsistensi pembangunan selama tiga dekade.

Di sisi lain, rekam jejak pelanggaran HAM, KKN, dan penyimpangan kekuasaan masih menjadi luka sejarah yang belum tuntas.

Gelombang kritik dari pengamat, aktivis HAM, dan mantan penyidik KPK menandai bahwa wacana ini akan terus berlanjut.
Ruang publik kini bergerak antara nostalgia stabilitas masa lalu dan tuntutan akuntabilitas sejarah.

Publisher/Red:

[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]