Gelombang Penolakan Menguat:Tokoh NU, Muhammadiyah, dan Sejarawan Kompak Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
![]() |
| (Ilustrasi 3D tokoh NU Muhammadiyah dan sejarawan menolak Soeharto jadi pahlawan nasional) |
Diskursus publik yang semakin menguat ini memperlihatkan bahwa memori kolektif tentang Orde Baru masih menyisakan luka sejarah yang belum tuntas.
Baca Berita Terkini: KPK Tangkap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dalam OTT Terkait Dugaan Korupsi Mutasi dan Promosi Jabatan
NU Tegaskan Penolakan: “Soeharto Tidak Layak Dipahlawankan”
Gus Mus Ungkap Luka NU pada Era Orde Baru
Mustasyar PBNU, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), menjadi salah satu tokoh yang paling vokal menentang rencana tersebut. Ia menyatakan bahwa Soeharto tidak memenuhi standar moral maupun sejarah untuk menerima gelar Pahlawan Nasional.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” tegas Gus Mus.
Menurutnya, banyak kiai dan ulama pesantren mengalami tekanan berat pada masa Orde Baru. Papan nama NU kerap dilarang dipasang, sejumlah kiai dipersekusi, dan sebagian bahkan dipaksa masuk Golkar. Ia mencontohkan adiknya sendiri, Kiai Adib Bisri, yang akhirnya mundur dari PNS karena tekanan politik.
Kekhawatiran NU atas Penghilangan Jejak Kekerasan Masa Lalu
Gus Mus menambahkan bahwa masih banyak tokoh bangsa yang berjuang tanpa pamrih, namun keluarga mereka tidak pernah mengusulkan gelar pahlawan demi menghindari riya’.
Ia menilai, anggota NU yang mendukung gelar tersebut menunjukkan ketidakpahaman terhadap sejarah kelam Orde Baru.
“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan, berarti tidak ngerti sejarah,” ujarnya.
Muhammadiyah: Pahlawan Nasional Harus Bersih dari Kejahatan Publik
Pengurus LHKP PP Muhammadiyah, Usman Hamid, menyampaikan kritik tajam. Menurutnya, gelar pahlawan harus diberikan kepada sosok yang memiliki integritas moral hingga akhir hayat.
“Jika seseorang meninggal dunia dalam status tersangka atau terdakwa, terlebih terkait pelanggaran HAM, korupsi, atau kejahatan lingkungan, sangat sulit untuk disebut pahlawan,” ungkap Usman.
Ia mengingatkan bahwa kasus dugaan korupsi Soeharto tidak pernah tuntas secara hukum. Bahkan, di tingkat internasional, Soeharto beberapa kali disebut sebagai salah satu pemimpin paling buruk dan paling korup di Asia Tenggara.
Usman juga mempertanyakan rasionalitas menyandingkan nama Soeharto dengan tokoh seperti Gus Dur atau Marsinah, yang jelas memiliki keberanian moral dan konsistensi perjuangan.
Sejarawan dan Aktivis 98: Rezim Orde Baru Penuh Represi dan Manipulasi Memori
Bonnie Triyana: Legitimasi Soeharto Dibangun melalui Krisis Politik
Sejarawan Bonnie Triyana menjelaskan bahwa Soeharto naik ke tampuk kekuasaan karena krisis politik pasca-1965, bukan melalui mandat rakyat. Ia menyebutkan adanya dualisme kepemimpinan 1965–1968, operasi militer seperti “Operasi Kikis”, serta strategi internasional untuk memperkuat pengaruh Soeharto.
Bonnie menyoroti bahwa Pemilu 1971 yang kerap dianggap demokratis, sejatinya penuh ketidakseimbangan dan intervensi militer. NU dan PNI menjadi sasaran represi politik yang sistematis.
Ia juga menekankan bahwa Soeharto menggunakan narasi budaya dan propaganda film seperti G30S/PKI dan Janur Kuning untuk membangun citra diri sebagai penyelamat bangsa.
Hairus Salim: Represi Orde Baru Menimpa Banyak Kelompok Politik
Budayawan NU, Hairus Salim, menegaskan bahwa represi Orde Baru tidak hanya menargetkan PKI, tetapi juga partai politik seperti NU, PNI, Masyumi, hingga kelompok intelektual.
Ia mencatat bahwa banyak daerah memiliki bupati yang berasal dari TNI, menunjukkan bahwa pemerintahan didominasi kekuatan militer.
Savic Ali: Soeharto Didukung ABG dan Barat
Aktivis 1998, Mohamad Syafi Alielha (Savic Ali), menyoroti dukungan ABRI, birokrasi, dan Golkar terhadap Soeharto ditambah sokongan Amerika Serikat demi kepentingan geopolitik.
Ia menyebut rezim Soeharto sebagai sumber banyak masalah nasional: KKN, pembungkaman, hilangnya lapisan intelektual, hingga krisis ekonomi 1998.
Savic mengutip laporan Majalah TIME yang menyebut kekayaan keluarga Soeharto mencapai 15 miliar dolar AS.
Suara Generasi Muda NU: Luka Historis Belum Sembuh
Aktivis Gen Z, Lily Faidatin, secara tegas menolak gelar pahlawan bagi Soeharto. Ayahnya pernah ditangkap pada era Orde Baru hanya karena mengkritik pemerintah.
“Beliau mungkin punya jasa, tetapi dosanya lebih banyak. Soeharto tidak punya cukup alasan untuk dipahlawankan,” tegas Lily.
Seruan Bersama Menolak Distorsi Sejarah
Penolakan terhadap wacana pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar perbedaan pendapat politik, melainkan upaya menjaga integritas sejarah bangsa. NU, Muhammadiyah, sejarawan, budayawan, hingga aktivis lintas generasi sepakat bahwa:
-Rekam jejak Soeharto sarat represi, kekerasan, dan korupsi.
-Narasi masa lalu tidak boleh dimanipulasi demi kepentingan politik saat ini.
-Gelar pahlawan harus diberikan kepada sosok yang moralitasnya teruji, bukan yang sarat kontroversi dan luka sejarah.
-Gelombang penolakan yang semakin menguat ini menjadi pengingat bahwa bangsa Indonesia tidak boleh kehilangan pijakan pada kebenaran sejarah.
Publisher/Red:
[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
