DPR Sahkan RUU KUHAP: Sorotan Publik Menguat, dari Hak Sipil Terancam hingga Dominasi Aparat

DPR sahkan RUU KUHAP 2025, menuai sorotan publik terkait ancaman hak sipil, dominasi aparat, serta kritik akademisi terhadap proses legislasi.

(Ilustrasi 3D kartun realistis sidang DPR dan demonstrasi publik terkait RUU KUHAP 2025)
PortalJatim24.com - Berita Terkini - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam rapat paripurna pada Selasa, 18 November 2025. Keputusan itu diambil setelah mendengar laporan Komisi III dan mendapat persetujuan bulat dari seluruh fraksi.

Namun, alih-alih disambut sebagai tonggak reformasi hukum, pengesahan tersebut justru memicu gelombang penolakan dari koalisi masyarakat sipil, organisasi bantuan hukum, hingga akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Mereka menilai UU ini mengandung banyak pasal bermasalah, disusun secara terburu-buru, dan menyimpan potensi ancaman serius terhadap kebebasan sipil, kebebasan akademik, hingga perlindungan hak asasi manusia.

Reaksi DPR: Tegaskan Hoaks dan Klaim Substansi Sudah Tepat

DPR Nyatakan Pengesahan Sah dan Tepat Waktu

Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa pembahasan RKUHAP sudah dilakukan sesuai prosedur dan laporan Komisi III dianggap telah jelas. Dalam rapat paripurna, ia meminta persetujuan fraksi-fraksi dan seluruh peserta rapat sepakat menyatakan “Setuju”.

Puan juga menanggapi masifnya kritik publik. Ia menyebut banyak informasi yang beredar terkait substansi KUHAP baru adalah hoaks dan kesalahpahaman yang perlu diluruskan.

Komisi III Klaim Memperkuat Perlindungan Warga

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa KUHAP baru justru memperkuat posisi warga negara termasuk kelompok rentan. Ia juga menegaskan bahwa partisipasi publik telah diakomodasi melalui berbagai forum, meski tidak semua masukan bisa diterima karena proses legislasi memiliki batasan.

Isi Substansi RKUHAP: 14 Poin Pembaruan yang Disepakati DPR

Kerangka Pembaruan Versi DPR

Dalam pembahasan, Panitia Kerja (Panja) RKUHAP menyepakati 14 substansi utama sebagai fondasi pembaruan hukum acara pidana, meliputi:

Ringkasan 14 Poin Pembaruan

-Penyesuaian dengan perkembangan hukum nasional & internasional

-Penekanan pendekatan restoratif, rehabilitatif, restitutif

-Penegasan diferensiasi fungsional APH

-Penguatan koordinasi penyelidik penyidik penuntut

-Perlindungan hak tersangka, terdakwa, korban, saksi

-Penguatan peran advokat

-Pengaturan keadilan restoratif

-Perlindungan kelompok rentan

-Penguatan hak penyandang disabilitas

-Perbaikan pengaturan upaya paksa

-Mekanisme baru seperti pengakuan bersalah & penundaan penuntutan korporasi

-Pertanggungjawaban pidana korporasi

-Pengaturan kompensasi, restitusi, rehabilitasi

-Modernisasi peradilan: cepat, sederhana, akuntabel

Namun, di balik daftar tersebut, oposisi muncul karena substansi pasal-pasal dinilai tidak sejalan dengan semangat perlindungan dan demokrasi.

Gelombang Kritik Masyarakat Sipil: 8 “Ranjau Hukum” dalam RKUHAP

Koalisi masyarakat sipil, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menilai RKUHAP mengandung banyak pasal yang memperluas kewenangan aparat tanpa kontrol pengadilan.

Berikut 8 poin krusial versi YLBHI:

1. Aparat Boleh Menjebak (Undercover Buy) untuk Semua Kasus

Teknik pembelian terselubung kini boleh digunakan untuk semua jenis tindak pidana. Ini membuka peluang praktik penjebakan (entrapment).

2. Penangkapan Dini dengan Dalih “Mengamankan”

Aparat bisa melakukan penggeledahan hingga penangkapan sebelum ada bukti tindak pidana.

3. Penahanan Tanpa Izin Hakim

Kontrol peradilan dihapus dari tahap paling krusial, memicu risiko kesewenang-wenangan.

4. Penyadapan Tanpa Izin Pengadilan

RUU mengizinkan penyadapan tanpa persetujuan pengadilan dengan alasan menunggu aturan lain.

5. Celah Transaksi Restorative Justice

Tanpa mekanisme pelaporan, penyelesaian damai rawan jadi ruang gelap “jual beli perkara”.

6. Dominasi Polisi Makin Kuat

PPNS dan penyidik khusus dipusatkan di bawah Polri, meningkatkan struktur superpower kepolisian.

7. Tidak Ramah Disabilitas

RUU dianggap belum inklusif untuk penyandang disabilitas di seluruh proses peradilan.

8. Pembahasan Kilat Tanpa Masa Transisi

Dikhawatirkan menimbulkan kekacauan dalam implementasi bersamaan dengan KUHP baru.

Kritik Akademisi: KIKA Nilai KUHAP Baru Ancam Kebebasan Akademik

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengeluarkan pernyataan keras. Para akademisi menilai:

Proses legislasi terburu-buru, mengabaikan prinsip partisipasi bermakna.

Pasal-pasal bermasalah berpotensi mengancam kebebasan akademik, riset kritis, dan perlindungan data akademis.

Mekanisme operasi terselubung dapat digunakan untuk menjebak peneliti atau mahasiswa yang kritis terhadap negara.

Ancaman pada Kebebasan Akademik

Beberapa pasal yang disorot KIKA antara lain:

Pasal yang Dipersoalkan Akademisi

-Pasal 16: operasi terselubung diperluas → dapat menjebak peneliti

-Pasal 5, 90, 93: memungkinkan pengamanan & penahanan di tahap penyelidikan

-Pasal 105, 112A, 132, 124: penggeledahan, penyitaan, pemblokiran tanpa izin pengadilan

KIKA menilai seluruh ketentuan itu dapat dipakai untuk membungkam riset kritis terhadap praktik korupsi, kejahatan lingkungan, dan kebijakan publik.

Antara Reformasi Hukum dan Ancaman Kebebasan Sipil

DPR dan pemerintah menyebut pengesahan KUHAP baru sebagai langkah modernisasi hukum acara pidana menuju peradilan yang lebih progresif.

Namun, masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga bantuan hukum justru melihatnya sebagai ancaman:

-Pelebaran wewenang aparat tanpa kontrol yudisial,

-Penyempitan ruang kebebasan sipil,

-Potensi kriminalisasi, dan

Risiko intervensi terhadap dunia akademik.

Di tengah kontroversi ini, publik kini menunggu sikap pemerintah, Mahkamah Konstitusi, serta berbagai lembaga pengawasan untuk memastikan implementasi UU baru tidak menjadi pintu masuk kesewenang-wenangan.

Publisher/Red:

[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]