Mahasiswa Gugat Pasal UU MD3 ke MK: Tuntut Rakyat Dapat Hak Pemberhentian terhadap Anggota DPR
![]() |
| (Ilustrasi 3D realistis sidang Mahkamah Konstitusi terkait gugatan Pasal 239 UU MD3) |
Para pemohon terdiri dari Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka meminta MK menafsirkan kembali ketentuan recall agar tidak hanya dapat diusulkan oleh partai politik, tetapi juga oleh rakyat atau konstituen di daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan.
Baca Berita Lainnya: Polemik Larangan Polisi Aktif di Jabatan Sipil: Putusan MK Tegas, Pemerintah Beri Tafsir Baru, Reformasi Polri Bagaimana?
Kepedulian atas Kedaulatan Rakyat
Dalam persidangan pendahuluan yang digelar Selasa (4/11) dan kemudian dilanjutkan pada Senin (17/11), para pemohon menegaskan bahwa permohonan uji materi ini bukanlah bentuk kebencian terhadap DPR maupun partai politik.
"Permohonan a quo yang dimohonkan oleh para pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah," ujar Ikhsan, mewakili para pemohon.
Menurut mereka, selama ini partai politik sering memberhentikan anggota DPR tanpa alasan jelas dan tanpa mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat. Sebaliknya, banyak kasus ketika masyarakat atau konstituen meminta agar seorang anggota DPR diberhentikan karena kehilangan legitimasi, justru tidak direspons oleh partai politik.
Kondisi ini menciptakan ketimpangan mekanisme kontrol, karena rakyat yang memilih legislator tidak memiliki ruang untuk mengusulkan pemberhentian ketika wakilnya tidak lagi menjalankan tugas dengan layak.
Pemilih Kehilangan Daya Tawar setelah Pemilu
Para mahasiswa memandang bahwa ketiadaan mekanisme pemberhentian oleh konstituen mengakibatkan posisi rakyat dalam pemilu menjadi sekadar prosedural formal. Setelah pemilu selesai, rakyat tidak memiliki lagi daya tawar untuk memastikan wakilnya bekerja sesuai janji kampanye dan memperjuangkan kepentingan konstituen.
Mereka juga menyampaikan bahwa hal ini berpotensi menyebabkan kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, terutama terkait prinsip persamaan di hadapan hukum, partisipasi aktif dalam jalannya pemerintahan, serta kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin UUD 1945.
Baca Juga: DPR Sahkan RUU KUHAP: Sorotan Publik Menguat, dari Hak Sipil Terancam hingga Dominasi Aparat
Contoh Kasus: Ketidaksinkronan Aspirasi dan Keputusan Partai
Dalam berkas permohonan, para pemohon turut mengutip sejumlah kasus seperti Ahmad Sahroni, Nafa Indria Urbach, Surya Utama (Uya Kuya), Eko Patrio, dan Adies Kadir sebagai contoh disharmonisasi antara kehendak publik dan tindakan partai politik.
Mereka menilai bahwa ketika masyarakat mendesak agar seorang anggota DPR diberhentikan, partai justru tidak menjalankan mekanisme sebagaimana diatur UU MD3. Sebaliknya, partai kerap menonaktifkan kader tertentu tanpa mekanisme formal yang jelas, sehingga menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum.
Permintaan Penafsiran Baru: Partai dan/atau Konstituen
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan bahwa Pasal 239 ayat (2) huruf d bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai:
“diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Mereka berharap perubahan tafsir ini dapat membuka ruang partisipasi publik dalam proses recall, sehingga mekanisme pemberhentian anggota DPR tidak hanya menjadi kewenangan eksklusif partai politik.
Baca Juga: MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil: Pemerintah Siapkan Langkah Transisi dan Reformasi Polri
Proses Sidang dan Tahap Selanjutnya
Sidang perkara dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah. Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo menyampaikan bahwa permohonan ini akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menentukan apakah perkara dapat diputus tanpa sidang pembuktian lanjutan atau perlu pemeriksaan lebih mendalam.
Keputusan MK nantinya diperkirakan memiliki dampak signifikan terhadap dinamika hubungan antara partai politik, anggota DPR, dan konstituen. Bila gugatan ini dikabulkan, maka rakyat dapat memiliki instrumen baru untuk mengontrol wakilnya di parlemen secara langsung.
Publisher/Red:
[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
