Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional: Komnas HAM, GP Ansor, dan Aktivis Gusdurian Serentak Menolak Berlandaskan Sejarah
![]() |
| (Ilustrasi 3D realistis Komnas HAM dan aktivis Perempuan Indonesia Antikorupsi dalam suasana konferensi resmi) |
Baca Berita Lainnya: Badai Kritik Usai Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan: Sejarah, KKN, dan Pelanggaran HAM Dikupas Publik
Komnas HAM: Penetapan Soeharto Sebagai Pahlawan Mengingkari Fakta Pelanggaran HAM Berat
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, menyatakan keberatan atas penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Ia menilai keputusan Presiden Prabowo menciderai rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu yang belum sepenuhnya memperoleh keadilan
“Penetapan Soeharto sebagai pahlawan mengingkari fakta-fakta pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa pemerintahannya,” ujar Anis di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (12/11/2025).
Dalam catatan Komnas HAM, terdapat sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat di masa rezim Soeharto, antara lain peristiwa 1965, penembakan misterius (Petrus), Talangsari, Tanjung Priok, DOM Aceh, dan kerusuhan Mei 1998.
Semua peristiwa itu telah diselidiki dan dinyatakan terjadi pelanggaran berat terhadap kemanusiaan.
Anis menyoroti tragedi Kerusuhan Mei 1998 yang disimpulkan Komnas HAM sebagai pelanggaran berat karena adanya tindakan pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan persekusi. Hingga kini, katanya, korban dan keluarga masih mencari keadilan
“Proses hukum terhadap pelanggaran HAM masa lalu belum banyak berjalan. Keluarga korban sampai hari ini masih mencari keadilan,” tegasnya.
Anita Wahid: “Kami Hidup di Bawah Teror di Masa Soeharto”
Aktivis Gusdurian, Anita Wahid, juga menyampaikan penolakannya terhadap gelar pahlawan bagi Soeharto. Dalam diskusi bertajuk “Menolak Soeharto Jadi Pahlawan” di kanal Gerpol TV, ia mengisahkan pengalaman traumatis keluarganya yang hidup di bawah teror dan ancaman di masa pemerintahan Soeharto.
“Sebagai anak dari Gus Dur, saya mengalami sendiri bagaimana hidup di bawah tekanan dan ketakutan di masa Soeharto,” ujarnya.
Anita menuturkan bahwa setiap sore, sekitar pukul tiga hingga lima, telepon rumah keluarganya selalu berdering, disertai ancaman dari seorang lelaki misterius.
“Dia berkata: ‘Bilang bapakmu diam, atau nanti kamu akan saya kirimkan hadiah besar isinya kepala bapakmu.’ Itu terjadi hampir setiap hari. Bayangkan, saya masih anak-anak waktu itu,” kenangnya dengan suara bergetar.
Anita menilai pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bentuk pengkhianatan terhadap ingatan para korban dan keluarga yang mengalami kekerasan di masa Orde Baru.
“Bagaimana mungkin seseorang yang menebar ketakutan dan membungkam kritik disebut pahlawan nasional?” tegasnya.
Menurutnya, melupakan kekerasan dan ketakutan yang ditanamkan rezim Soeharto sama saja dengan menghapus penderitaan banyak keluarga korban.
“Kalau hari ini kita diam, artinya kita membenarkan cara-cara itu,” pungkasnya.
Baca Juga: Gelombang Penolakan Menguat:Tokoh NU, Muhammadiyah, dan Sejarawan Kompak Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
GP Ansor Jatim: Gelar Pahlawan untuk Soeharto Adalah Paradoks Sejarah
Penolakan serupa disampaikan H. Musaffa’ Safril, Ketua PW GP Ansor Jawa Timur. Melalui akun media sosialnya (10/11/2025), Safril menilai keputusan pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan kepada Soeharto sebagai tindakan ahistoris dan paradoksal
“Gelar pahlawan bagi Pak Soeharto menyerupai gerakan penulisan sejarah baru yang berpotensi merombak memori kolektif bangsa,” ujarnya.
Safril menegaskan bahwa bangsa Indonesia saat ini menikmati hasil perjuangan Reformasi 1998 seperti demokrasi, kebebasan pers, dan supremasi sipil yang justru lahir dari perlawanan terhadap kekuasaan otoriter Orde Baru.
“Ketika bangsa ini menikmati buah demokrasi, kita justru memoles kembali figur simbol kekuasaan otoriter. Ini paradoks sejarah,” tegasnya.
Ia juga mengungkap adanya tekanan terhadap media massa agar tidak mengkritik Soeharto.
“Beberapa media meminta tanggapan saya, tapi ada pesan: ‘Tolong jangan menyinggung Pak Harto.’ Itu menunjukkan masih ada ketakutan yang diwariskan,” ujarnya.
Safril menutup dengan penegasan moral bahwa sejarah tidak boleh dipoles demi kepentingan politik.
“Sejarah bukan kamar rias kekuasaan. Ia adalah cermin bangsa yang harus dijaga kejernihannya agar kita tidak tersesat di masa depan,” tandasnya.
Kiai Muhyidin PWNU DKI: NU Diperlakukan Tak Adil di Masa Orde Baru
Dari kalangan ulama, KH. Muhyidin Ishaq, Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta, juga menyatakan penolakannya. Dalam Muskerwil ke-5 PWNU DKI Jakarta di Bogor (9–10 November 2025), Kiai Muhyidin menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto tidak layak secara moral dan historis.
“Saya keberatan atas nama Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta. Jangan ada lagi yang mengatasnamakan wilayah untuk menyatakan Soeharto layak jadi pahlawan,” tegasnya.
Ia mengingat kembali pengalaman pribadi di masa Orde Baru, ketika NU diperlakukan tidak adil.
“Saya pelaku sejarah. Waktu itu Banser hanya di ring dua, yang di ring satu Siliwangi. Gus Dur, yang jadi Ketua Umum PBNU, bahkan tidak diperbolehkan naik panggung dan bersalaman dengan Pak Harto. Kita semua menangis waktu itu,” kenangnya.
Kiai Muhyidin menilai bahwa siapa pun di lingkungan PBNU yang mendukung gelar pahlawan bagi Soeharto perlu diberikan sanksi organisasi, karena bertentangan dengan nilai kejujuran sejarah.
Baca Juga: KPK Dalami Dugaan Jual Tanah Negara ke Negara dan Mark Up Pengadaan Lahan Proyek Kereta Cepat Whoosh
Kontroversi Nasional: Antara Penghormatan dan Luka Kolektif Bangsa
Keputusan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Selain Soeharto, terdapat sembilan tokoh lain yang juga menerima gelar serupa, termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Marsinah, dan Sarwo Edhie Wibowo.
Namun, penganugerahan kepada Soeharto menimbulkan badai kritik publik karena dianggap mengabaikan sejarah kelam Orde Baru yang penuh represi, korupsi, kolusi, nepotisme, dan pelanggaran HAM.
Para penolak menegaskan bahwa penghormatan terhadap nilai kepahlawanan tidak boleh menafikan penderitaan korban dan kebenaran sejarah.
Sebagaimana disampaikan oleh Komnas HAM, GP Ansor, dan kalangan aktivis, kejujuran sejarah adalah fondasi moral bangsa. Tanpa itu, penghargaan semacam ini hanya menjadi simbol kosong yang mengaburkan luka kolektif bangsa.
Publisher/Red:
[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
