Fakta Psikologis: Gen Z Rentan "Insecure Culture" Membandingkan Dirinya dengan Orang Lain

Mengapa Gen Z rentan insecure? Simak fakta psikologis tentang budaya membandingkan diri di media sosial dan dampaknya pada mental serta masa depan.
(Ilustrasi Gen Z merasa insecure dan membandingkan diri dengan orang lain — portaljatim24.com)

PortalJatim24.com - Fakta - Edukasi- Dalam era digital saat ini, Generasi Z tumbuh di tengah arus informasi yang sangat deras. Media sosial, konten viral, dan tren yang cepat berubah menjadikan mereka kelompok yang paling terhubung secara global. Namun, dibalik koneksi yang luas ini, muncul fenomena psikologis yang mengkhawatirkan, "insecure culture" .yaitu kecenderungan Gen Z merasa tidak percaya diri karena sering membandingkan dirinya dengan orang lain. Artikel ini akan mengulas secara mendalam fakta psikologis di balik fenomena ini dan mengapa hal tersebut penting untuk dipahami.

Apa Itu "Insecure Culture"?

Menurut psikolog klinis Dr. Guy Winch, "insecure culture" merujuk pada lingkungan sosial dan psikologis yang membuat individu terus-menerus merasa tidak cukup baik, terutama akibat tekanan eksternal dan perbandingan sosial. Di kalangan Gen Z, hal ini diperparah dengan intensitas interaksi digital yang mendorong standar kesuksesan yang tidak realistis.

Penyebab Gen Z Rentan Mengalami Insecure Culture

-Paparan Media Sosial yang Berlebihan

Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menampilkan kehidupan orang lain yang terlihat sempurna. Hal ini membuat banyak remaja Gen Z merasa hidupnya tidak sebaik orang lain, padahal kenyataan sering kali jauh berbeda dari yang ditampilkan di layar.

 "Kita membandingkan kehidupan nyata kita dengan versi highlight orang lain," ujar Prof. Jean Twenge, penulis buku "iGen".

-Kurangnya Validasi Diri

Gen Z tumbuh dalam budaya likes, comments, dan followers. Mereka cenderung mencari pengakuan dari luar, bukan dari dalam diri sendiri. Ini mengurangi ketahanan psikologis dan meningkatkan rasa tidak aman.

-Standar Kecantikan dan Sukses yang Tidak Realistis

Banyak dari mereka yang merasa gagal karena tidak memiliki tubuh ideal, gaya hidup mewah, atau pencapaian profesional tertentu di usia muda. Media sering memperkuat narasi bahwa semua itu adalah ukuran keberhasilan.

Perbandingan Antar Generasi (Gen Z vs Millennial)

Millennial, yang lahir sebelum Gen Z, juga mengalami tekanan sosial dari media, namun perkembangan teknologi tidak secepat saat Gen Z tumbuh. Millennial mengalami masa remaja dengan akses internet yang masih terbatas, sedangkan Gen Z sudah terekspos media sosial sejak usia dini.

Millennial lebih terbiasa dengan membangun identitas secara offline, sementara Gen Z lebih bergantung pada validasi digital. Ini menyebabkan Gen Z memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap gangguan kecemasan dan perasaan tidak aman akibat perbandingan sosial.

Dampak Insecure Culture pada Karier dan Pendidikan

Fenomena insecure culture dapat memengaruhi keputusan akademik dan profesional Gen Z. Banyak dari mereka merasa tidak cukup layak untuk mencoba hal baru atau bersaing di dunia kerja.

Mereka cenderung mengalami imposter syndrome, yaitu perasaan bahwa pencapaian mereka tidak sah dan mereka hanya "beruntung". Dalam jangka panjang, ini dapat menghambat perkembangan karier dan mengurangi kepercayaan diri saat mengambil tanggung jawab baru.

Dalam pendidikan, rasa tidak percaya diri membuat mereka takut gagal dan lebih fokus pada pencitraan daripada pembelajaran sesungguhnya.

Peran Parenting dan Pola Asuh di Era Digital

Orang tua Gen Z memiliki peran penting dalam membentuk cara pandang dan ketahanan psikologis anak. Pola asuh yang terlalu protektif atau terlalu permisif bisa memperparah insecure culture.

Orang tua yang terlalu menekankan pencapaian akademis atau membandingkan anak dengan saudara atau teman bisa meningkatkan tekanan psikologis. Sebaliknya, pola asuh yang mendukung eksplorasi, memberi ruang kesalahan, dan mendorong refleksi diri akan memperkuat kepercayaan diri anak.

Penting juga bagi orang tua untuk ikut melek digital agar dapat menjadi mitra diskusi, bukan sekadar pengontrol.

Dampak Psikologis dari Insecure Culture pada Gen Z

-Gangguan Kecemasan dan Depresi

Sebuah studi dari Pew Research Center menemukan bahwa lebih dari 70% Gen Z di AS melaporkan mengalami kecemasan dan depresi karena tekanan sosial. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, dengan meningkatnya jumlah remaja yang mencari bantuan psikologis.

-Self-Esteem yang Rendah

Sering membandingkan diri dengan orang lain membuat kepercayaan diri Gen Z menjadi rendah. Mereka merasa tidak pernah cukup baik dalam berbagai aspek hidup, mulai dari penampilan hingga karier.

-Ketergantungan Digital

Banyak Gen Z yang merasa cemas jika tidak memegang ponsel atau memeriksa media sosial selama beberapa jam. Ini dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out), kondisi psikologis yang memperkuat rasa tidak aman.

Pandangan Ahli tentang Fenomena Ini

Menurut psikolog perkembangan Erik Erikson, fase remaja hingga dewasa muda adalah tahap pencarian identitas. Bila identitas ini terbentuk dari standar eksternal dan perbandingan sosial, maka individu akan kesulitan membangun kepercayaan diri yang sehat.

Dr. Sherry Turkle dari MIT juga menyebutkan bahwa terlalu banyak interaksi virtual menyebabkan alone together - yaitu merasa kesepian meskipun terlihat aktif secara sosial.

Contoh Orang yang Mengalami “Insecure Culture”

Bayu (nama disamarkan), mahasiswa semester akhir di Jakarta, mengaku merasa tidak percaya diri setiap kali membuka LinkedIn. “Teman-teman saya sudah magang di perusahaan besar, saya malah masih bingung mau ke mana,” katanya. Meskipun memiliki IPK tinggi, Bayu merasa tertinggal karena sering membandingkan pencapaiannya dengan orang lain.

Kasus serupa juga dialami oleh Nadya, siswi SMA yang merasa harus tampil sempurna setiap saat di Instagram karena takut dianggap tidak keren oleh teman-temannya.

Cara Mengatasi dan Mengurangi Insecure Culture

-Digital Detox Secara Berkala

Mengurangi konsumsi media sosial dan membatasi waktu layar dapat membantu Gen Z melihat dunia nyata secara lebih jernih dan realistis.

-Fokus pada Diri Sendiri

Mengembangkan potensi diri, mengenali kelebihan dan kekurangan pribadi, serta menulis jurnal syukur harian adalah cara efektif untuk membangun kepercayaan diri.

-Pendidikan Literasi Digital

Sekolah dan keluarga perlu membekali Gen Z dengan kemampuan memahami dan mengkritisi konten digital. Literasi ini akan membantu mereka tidak terjebak dalam jebakan perbandingan sosial.

-Konseling Psikologis

Bagi yang merasa overthinking, cemas, atau depresi karena membandingkan diri, sebaiknya berkonsultasi dengan psikolog profesional.

Prediksi Masa Depan & Implikasi Sosial

Jika fenomena insecure culture tidak ditangani, kita akan menghadapi generasi muda dengan tingkat kecemasan tinggi, ketidakstabilan emosi, dan kurang produktif dalam jangka panjang. Dunia kerja bisa dipenuhi oleh individu yang takut gagal dan enggan mencoba hal baru.

Namun, jika kesadaran dan pendidikan emosional diperkuat, Gen Z justru bisa menjadi generasi paling tangguh dan reflektif. Mereka dapat menggunakan media sosial sebagai alat pemberdayaan, bukan pembanding diri.

Kesimpulan:

Gen Z dan Tantangan Insecure Culture

Fakta psikologis menunjukkan bahwa Generasi Z memang lebih rentan terhadap "insecure culture", akibat dominasi media sosial dan tekanan sosial yang tinggi. Namun, dengan pemahaman yang lebih dalam dan strategi yang tepat, Gen Z dapat membangun identitas diri yang lebih kuat dan sehat secara mental.


*(Publisher/Penulis (AZAA)

Referensi:

Winch, G. (2014). Emotional First Aid.
Twenge, J. (2017). iGen.
Pew Research Center (2023). Mental Health in Gen Z.
Turkle, S. (2015). Reclaiming Conversation.
Erikson, E. (1968). Identity: Youth and Crisis.
Kominfo.go.id – Literasi Digital di Era Disrupsi
McKinsey & Company (2022). Understanding Gen Z’s Behavior in the Digital Age.