Kajian Pengaruh Budaya Populer terhadap Pemahaman Pancasila bagi Generasi Bangsa Lengkap 2025
![]() |
(Ilustrasi 3D generasi muda belajar Pancasila lewat budaya populer 2025) |
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana pengaruh budaya populer terhadap pemahaman Pancasila sebagai ideologi bangsa, serta menawarkan pendekatan kritis dan solutif agar nilai-nilai luhur tersebut tetap relevan dan membumi.
Baca Juga: 10 Analisis Framing Berita dalam Perspektif Nilai-Nilai Pancasila, Detail dan Kritis 2025
Pengertian Budaya Populer dan Relevansinya dengan Generasi Bangsa
Budaya populer merujuk pada produk budaya yang dikonsumsi secara massal oleh masyarakat luas, khususnya generasi muda. Menurut John Storey (2015), budaya populer mencakup bentuk hiburan dan gaya hidup yang diproduksi dan dikonsumsi dalam sistem kapitalisme budaya.
Di Indonesia, budaya populer bukan hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga ruang pergaulan, pembentukan identitas, bahkan saluran ekspresi politik generasi muda. Budaya ini bisa menjadi kekuatan positif, namun juga berpotensi menjauhkan generasi bangsa dari nilai-nilai ideologis seperti Pancasila jika tidak dikritisi secara sadar.
Pancasila Sebagai Sistem Nilai Bangsa
Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan juga sistem nilai yang membentuk karakter bangsa. Kelima sila mencerminkan nilai-nilai universal: keimanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Menurut Prof. Kaelan (2013), Pancasila adalah weltanschauung atau pandangan hidup bangsa Indonesia yang menyatukan keberagaman dalam semangat kebangsaan.
Namun, pengaruh budaya populer global yang tidak selaras dengan konteks budaya Indonesia bisa memicu krisis identitas ideologis, terutama jika nilai-nilai yang diserap bertentangan dengan esensi Pancasila.
Baca Artikel Lainnya: 10 Perbandingan Sistem Ekonomi Kapitalis dan Nilai Ekonomi Pancasila: Kajian 2025
10 Pengaruh Budaya Populer terhadap Pemahaman Pancasila
✅Reduksi Nilai Ketuhanan karena Sekularisasi Budaya
Film dan musik Barat sering kali membawa narasi sekuler atau bahkan ateistik. Jika dikonsumsi tanpa filter, bisa mengikis makna sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa". Remaja lebih mengenal tokoh fiksi daripada nilai spiritual keimanan.
Solusi: Literasi digital berbasis agama dan kebudayaan lokal harus dikuatkan di sekolah dan komunitas.
✅Konsumerisme dan Pelemahan Nilai Kemanusiaan
Budaya populer seringkali mempromosikan gaya hidup konsumtif. Ini bertentangan dengan sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" yang mengedepankan empati, etika, dan kesederhanaan.
Pandangan ahli: Jean Baudrillard mengkritik budaya konsumen sebagai bentuk "simulakra" yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai otentik.
✅Pengaruh Individualisme terhadap Persatuan
Tren media sosial yang menonjolkan pencitraan diri (self-branding) bisa memupuk individualisme dan egoisme. Hal ini dapat menggerus semangat kolektivisme dalam sila ketiga "Persatuan Indonesia".
Contoh: Maraknya konten prank atau konten kontroversial demi viralitas bisa menciptakan konflik dan polarisasi.
✅Pemahaman Demokrasi yang Dangkal
Budaya populer banyak mengajarkan kebebasan berekspresi, tetapi sering diartikan sebatas "boleh melakukan apapun". Ini bertentangan dengan sila keempat "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".
Solusi: Pendidikan demokrasi Pancasila melalui metode interaktif seperti vlog edukatif, komik digital, dan video pendek.
✅Ketimpangan Sosial dalam Representasi Budaya Populer
Konten populer sering menunjukkan kehidupan mewah dan kemapanan sebagai standar sukses. Ini memperbesar kesenjangan persepsi di kalangan generasi muda terhadap nilai keadilan sosial (sila kelima).
Pendekatan kritis: Generasi muda perlu diperkenalkan pada "jurnalisme keadilan sosial" dan konten-konten alternatif yang mengangkat realitas rakyat kecil.
✅Pemudaran Bahasa dan Simbol Budaya Lokal
Budaya populer global kerap menggunakan bahasa asing, simbol-simbol barat, dan budaya nonlokal, yang bisa menggeser budaya Indonesia.
Pandangan Koentjaraningrat: Kepribadian bangsa dibentuk dari simbol dan ekspresi budaya yang diwariskan. Kehilangan simbol berarti kehilangan jati diri.
✅Hilangnya Figur Panutan Pancasila
Generasi muda lebih mengenal influencer global daripada tokoh nasional atau pahlawan Pancasila. Hal ini menurunkan inspirasi ideologis.
Solusi: Pemerintah dan media wajib memproduksi konten inspiratif tentang tokoh seperti Bung Hatta, RA Kartini, atau Gus Dur dalam format digital kekinian.
✅Tren 'Cancel Culture' yang Bertentangan dengan Semangat Musyawarah
Cancel culture yang diadopsi dari Barat bertentangan dengan prinsip musyawarah dan hikmah dalam menyelesaikan masalah, seperti terkandung dalam sila keempat.
Pandangan Habermas: Dialog dan deliberasi adalah inti demokrasi, bukan persekusi atau pemaksaan kebenaran tunggal.
✅Normalisasi Kekerasan dan Seksualitas dalam Media Populer
Banyak konten populer yang menyisipkan unsur kekerasan atau seksualisasi berlebih. Ini berisiko merusak nilai kemanusiaan dan etika moral generasi muda.
Solusi: Edukasi konten bermuatan etik dan sensor mandiri berbasis nilai-nilai Pancasila.
✅Ketergantungan pada Teknologi dan Pengaburan Nilai Spiritualitas
Generasi muda lebih terhubung dengan dunia digital daripada kehidupan sosial dan spiritual, sehingga mengaburkan makna transendensi Pancasila.
Pandangan ahli: Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death menyebutkan bahwa teknologi hiburan dapat mereduksi kualitas berpikir kritis dan spiritual masyarakat.
Pendekatan Solutif Meningkatkan Pemahaman Pancasila melalui Budaya Populer
✅Pemanfaatan Media Sosial sebagai Sarana Edukasi Pancasila
Konten kreatif seperti TikTok edukatif, meme Pancasila, hingga podcast bertema kebangsaan dapat menjadi sarana efektif untuk menyampaikan nilai ideologi negara.
Kampanye digital bertema #PancasilaUntukGenerasiZ bisa melibatkan influencer lokal.
✅Kolaborasi Seniman, Kreator, dan Akademisi
-Produksi film, musik, dan literatur populer berbasis Pancasila yang membumi dan menggugah.
-Pelibatan kampus dan komunitas seni dalam mengembangkan proyek "Pancasila Pop Culture"
✅Pendidikan Ideologi Kreatif di Sekolah dan Komunitas
Modul pembelajaran berbasis proyek kreatif: membuat komik Pancasila, vlog kebangsaan, game edukatif.
Integrasi kurikulum Pancasila dalam pelajaran seni, literasi, dan kewarganegaraan.
✅Revitalisasi Simbol Nasional dan Budaya Lokal
-Memasukkan unsur lokal dan tokoh nasional dalam fashion, arsitektur, musik modern.
-Mendorong brand lokal untuk mengangkat narasi Pancasila dalam kampanye.
Kesimpulan
Budaya populer sangat memengaruhi cara generasi muda memahami Pancasila. Di satu sisi, budaya ini dapat melemahkan nilai-nilai luhur bangsa jika dikonsumsi tanpa kesadaran ideologis. Namun di sisi lain, budaya populer juga bisa menjadi alat transformasi ideologi Pancasila yang kreatif dan relevan dengan zaman.
Dengan pendekatan edukatif, kolaboratif, dan inovatif, budaya populer bisa dimanfaatkan untuk menguatkan pemahaman Pancasila bagi generasi bangsa 2025.
Baca Juga: Refleksi Nilai Pancasila Dalam Sosio Politik Indonesia, Untuk Indonesia Bersih dan Berkeadilan 2025
Publisher/Penulis:[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
Referensi
Kaelan. (2013). Pancasila: Yogyakarta sebagai Ideologi Negara dan Dasar Filsafat. Paradigma.
Storey, John. (2015). Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. Routledge.
Baudrillard, Jean. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures. Sage.
Postman, Neil. (1985). Amusing Ourselves to Death. Penguin.
Habermas, Jürgen. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere.
Koentjaraningrat. (1985). Pengantar Ilmu Antropologi. UI Press.