Analisis Wacana Media:Peran Sosial Media dalam Membentuk Persepsi Politik Generasi Muda Indonesia
![]() |
(Ilustrasi generasi muda Indonesia dan peran sosial media dalam politik) |
Artikel ini akan membahas secara detail mengenai peran sosial media dalam membentuk opini dan persepsi politik generasi muda, tantangan yang dihadapi, serta solusi agar media sosial tidak hanya menjadi ruang konsumtif, tetapi juga sarana literasi politik yang sehat.
Baca Artikel/Opini Lainnya: Kajian Kritis: Mengapa Angka Kemiskinan Indonesia Masih Tinggi Meski Ekonomi Meningkat?
Dasar dan Konsep Analisis Wacana Media
Untuk memahami peran sosial media dalam membentuk persepsi politik generasi muda, penting memahami konsep analisis wacana media. Wacana bukan sekadar bahasa, melainkan representasi kekuasaan, ideologi, dan kepentingan tertentu yang ditanamkan melalui teks, gambar, hingga narasi.
Menurut Teun A. van Dijk, wacana dalam media berhubungan erat dengan kekuasaan: siapa yang memiliki kendali terhadap informasi, dialah yang mampu membentuk persepsi publik. Sementara itu, Noam Chomsky dalam karyanya Manufacturing Consent menekankan bahwa media sering kali berfungsi sebagai alat propaganda, di mana kepentingan politik atau ekonomi tertentu bisa mendominasi narasi publik.
Dalam konteks sosial media, mekanisme ini lebih kompleks. Algoritma menentukan apa yang kita lihat, siapa yang mendapat ruang, dan wacana politik mana yang lebih sering muncul di linimasa. Dengan demikian, analisis wacana media sosial tidak hanya melihat teks, tetapi juga struktur kekuasaan di balik platform itu sendiri.
Contoh di Indonesia:
Pada masa kampanye Pemilu 2019 dan menjelang Pemilu 2024, banyak isu politik seperti cebong vs kampret hingga buzzer politik menjadi bukti bagaimana media sosial dipakai untuk membentuk persepsi politik masyarakat. Generasi muda terpapar pada narasi yang seringkali tidak netral, bahkan bersifat provokatif.
Fenomena penyebaran hoaks politik yang kemudian dipercaya tanpa verifikasi menunjukkan bagaimana wacana di sosial media bisa membentuk opini yang keliru.
Dengan dasar analisis ini, dapat dipahami bahwa generasi muda perlu literasi kritis agar tidak terjebak pada “kebenaran semu” yang dibangun oleh algoritma dan kepentingan politik tertentu.
Baca Juga: Studi Perbandingan Gerakan Sosial Mahasiswa Indonesia 1998 dan 2025, Kemajuan atau Kemunduran?
Media Sosial sebagai Ruang Baru Politik
Dari Ruang Privat ke Ruang Publik
Media sosial menjadikan ruang politik lebih cair. Generasi muda yang sebelumnya apatis terhadap politik konvensional kini dapat terhubung dengan isu-isu politik hanya melalui scrolling. Politik tidak lagi terbatas pada parlemen atau forum resmi, tetapi hadir dalam meme, video pendek, hingga trending topic.
Demokratisasi Informasi
Di satu sisi, media sosial membuka ruang demokratisasi informasi: siapa pun bisa berpendapat, mengkritik kebijakan, atau bahkan mengorganisasi gerakan politik. Gerakan #ReformasiDikorupsi pada 2019 adalah bukti nyata bagaimana mahasiswa dan generasi muda menggunakan Twitter dan Instagram untuk menyuarakan kritik terhadap revisi undang-undang yang dianggap melemahkan KPK.
Risiko Distorsi Informasi
Namun, kebebasan ini juga berisiko melahirkan distorsi. Banyak anak muda terjebak pada informasi setengah benar atau hoaks yang sengaja diproduksi untuk memengaruhi opini. Menurut data Mafindo (2024), lebih dari 60% hoaks politik tersebar melalui WhatsApp dan Facebook, di mana anak muda menjadi kelompok yang mudah menyebarkan tanpa verifikasi.
Generasi Muda, Budaya Konsumtif, dan Apatisme Politik
Budaya Konsumtif di Media Sosial
Banyak generasi muda lebih tertarik pada konten hiburan, gaya hidup, dan tren viral dibanding isu politik. TikTok dan Instagram sering dipakai untuk konsumsi cepat, bukan refleksi mendalam. Hal ini menciptakan paradoks: meski mereka “terhubung” dengan informasi politik, namun keterlibatan substansialnya sangat rendah.
Contoh nyata:
Menjelang Pemilu 2024, banyak anak muda lebih fokus pada perdebatan seputar gaya berpakaian politisi, gimmick kampanye di TikTok, atau sekadar meme politik dibanding membaca visi-misi kandidat.
Diskursus politik berubah menjadi entertainment politics politik yang dikonsumsi seperti hiburan, bukan sebagai proses serius yang menentukan masa depan bangsa.
Apatisme Politik Generasi Muda
Fenomena lain adalah meningkatnya apatisme politik. Menurut survei Lembaga Indikator Politik Indonesia (2024), sekitar 35% anak muda merasa politik "tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari". Mereka lebih percaya perubahan bisa dicapai melalui wirausaha atau komunitas kecil daripada terlibat langsung dalam politik formal.
Kritik untuk Generasi Muda:
Kurang Literasi Politik – Banyak anak muda hanya mengikuti isu politik sebatas trending topic, tanpa memahami konteks yang lebih luas.
Terlalu Emosional dan Reaktif – Alih-alih melakukan kajian mendalam, generasi muda cenderung cepat bereaksi dan membagikan konten tanpa memverifikasi kebenaran.
Budaya Instan – Generasi muda lebih memilih konten singkat seperti video 30 detik, sementara isu politik kompleks membutuhkan pemahaman yang mendalam.
Politisasi Identitas – Banyak pemuda masih mudah terjebak pada politik identitas yang dimainkan elit di media sosial.
Baca Juga: Kajian Mendalam Dampak Korupsi Terhadap Struktur Sosial dan Kepercayaan Publik
Studi Kasus di Indonesia
Gerakan #ReformasiDikorupsi 2019
Gerakan mahasiswa ini berhasil memobilisasi ribuan anak muda melalui sosial media. Narasi sederhana, penggunaan hashtag, dan penyebaran infografis memicu kesadaran kolektif. Namun, kelemahan muncul ketika gerakan ini tidak berkelanjutan karena hanya bergantung pada momentum viral.
Pemilu 2024 dan Perang Buzzer
Pada pemilu terakhir, perang opini di media sosial sangat kentara. Buzzer politik memproduksi konten untuk menyerang lawan, sementara generasi muda sering menjadi konsumen sekaligus distributor narasi tersebut. Akibatnya, persepsi politik anak muda banyak dipengaruhi oleh framing yang diciptakan elite politik.
Fenomena TikTok Politik
TikTok menjadi arena baru kampanye politik. Dengan gaya entertainment, politisi berusaha mendekati pemuda. Namun, dampaknya sering dangkal pemuda lebih ingat tarian atau gimmick politisi daripada program konkret yang mereka tawarkan.
Kritik terhadap Pemanfaatan Media Sosial
Media sosial memang membuka ruang partisipasi politik, namun juga menciptakan tantangan serius:
Polarisasi Politik
Diskursus politik di media sosial cenderung terbelah ke dalam dua kubu ekstrem. Ini menyebabkan generasi muda sulit bersikap kritis karena sudah terjebak dalam "echo chamber".
Informasi Cepat tapi Dangkal
Sosial media mendorong konsumsi cepat, yang pada akhirnya memperdangkal pemahaman politik. Isu-isu kompleks sering direduksi menjadi meme atau slogan.
Dominasi Algoritma
Algoritma platform menentukan isu mana yang relevan, bukan kebutuhan nyata masyarakat. Akibatnya, anak muda terjebak dalam ruang gema (filter bubble).
Budaya Politik Instan
Generasi muda terbiasa dengan instant gratification ingin perubahan cepat tanpa proses panjang. Ini menjadi tantangan serius bagi pembangunan demokrasi jangka panjang.
Solusi dan Rekomendasi
Peningkatan Literasi Digital dan Politik
Pemerintah, kampus, dan organisasi masyarakat sipil perlu memperkuat literasi digital. Pemuda harus dilatih membedakan fakta, opini, dan propaganda.
Mengoptimalkan Peran Influencer Positif
Banyak influencer muda yang bisa dijadikan role model untuk menyebarkan literasi politik. Misalnya, kreator konten yang mengupas isu politik dengan cara sederhana dan edukatif.
Penguatan Etika Bermedia Sosial
Etika bermedia sosial perlu diperkenalkan sejak sekolah. Misalnya, bagaimana cara berdiskusi sehat tanpa ujaran kebencian.
Ruang Diskusi Alternatif
Selain sosial media, ruang diskusi offline (komunitas mahasiswa, diskusi publik, forum literasi) perlu diperkuat agar generasi muda tidak hanya mengandalkan linimasa untuk memahami politik.
Kesimpulan
Sosial media memiliki peran penting dalam membentuk persepsi politik generasi muda Indonesia. Namun, peran ini bersifat ambivalen: di satu sisi membuka ruang demokratisasi informasi, di sisi lain menimbulkan polarisasi, dangkalnya pemahaman, dan budaya konsumtif. Dengan menggunakan analisis wacana media, sebagaimana dikemukakan oleh Noam Chomsky dan Teun A. van Dijk, kita bisa melihat bagaimana kekuasaan, algoritma, dan kepentingan politik membentuk narasi yang dikonsumsi anak muda.
Generasi muda perlu lebih kritis dan tidak sekadar menjadi konsumen pasif. Literasi politik, etika bermedia sosial, serta keberanian untuk keluar dari budaya instan adalah kunci untuk menciptakan pemuda yang sadar politik dan berdaya.
Pada akhirnya, peran sosial media dalam membentuk persepsi politik generasi muda Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab bersama: pemerintah, masyarakat, dan pemuda itu sendiri.
Publisher/Penulis:
[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
Referensi
Chomsky, N., & Herman, E. S. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books.
van Dijk, T. A. (1993). Discourse and Power. Palgrave Macmillan.
BPS (2024). Statistik Pemuda Indonesia 2024.
Indikator Politik Indonesia (2024). Survei Nasional Politik Pemuda.
MAFINDO (2024). Laporan Hoaks Politik Indonesia.