Fakta: Fenomena Self-Diagnosis di Kalangan Gen Z: Tren atau Bahaya?
![]() |
(Remaja Gen Z melihat ponsel dengan kekhawatiran soal anxiety dan ADHD) |
Baca Juga: Fakta: Tren 'Job Hopping' di Kalangan Gen Z: Alasan dan Dampaknya
Apa Itu Self-Diagnosis?
Self-diagnosis adalah proses ketika seseorang menentukan sendiri kondisi kesehatan fisik atau mentalnya tanpa evaluasi dari tenaga medis profesional. Dalam konteks kesehatan mental, hal ini bisa mencakup seseorang yang merasa memiliki anxiety, bipolar, ADHD, atau depresi hanya karena merasakan gejala yang serupa dengan yang dijelaskan dalam konten daring.
Menurut American Psychiatric Association, diagnosis gangguan mental hanya boleh ditegakkan oleh profesional bersertifikasi, karena setiap gejala harus dikaji dalam konteks riwayat, intensitas, dan fungsi hidup individu.
Psikolog klinis Prof. Dr. Irwanto, M.S., menyatakan bahwa diagnosa diri bisa mengarah pada penyesatan pemahaman terhadap gangguan psikologis karena minimnya pemahaman mendalam mengenai gejala dan penyebab.
Mengapa Gen Z Rawan Terjebak dalam Self-Diagnosis?
✔Akses Informasi Sangat Mudah
Gen Z tumbuh di era digital. Hanya dengan beberapa klik, mereka bisa mengakses ratusan video atau artikel tentang kesehatan mental. Sayangnya, tidak semua informasi tersebut akurat atau berasal dari sumber terpercaya.
Menurut Dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K), dari RSCM, internet memang membuka peluang literasi kesehatan mental, namun penggunaannya harus diiringi dengan literasi kritis agar tidak salah dalam memahami gejala psikologis.
✔Validasi Emosi Melalui Sosial Media
Konten yang relatable seperti "tanda kamu ADHD" atau "ini kenapa kamu merasa kosong tiap malam" seringkali membuat anak muda merasa divalidasi. Tanpa disadari, mereka menganggap perasaan tersebut sebagai bukti diagnosa.
Psikolog Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, M.Psi., menjelaskan bahwa kebutuhan akan validasi emosi yang tinggi seringkali mendorong anak muda cepat mengambil kesimpulan berdasarkan konten singkat.
✔Stigma ke Psikolog Masih Ada
Banyak Gen Z yang enggan ke psikolog karena biaya mahal, takut distigma, atau kurangnya dukungan dari keluarga. Self-diagnosis menjadi alternatif instan dan murah.
✔Tren Mental Health sebagai Topik Populer
Menurut laporan Katadata Insight Center (2023), isu kesehatan mental menjadi salah satu topik paling sering dicari Gen Z Indonesia di internet. Ini menunjukkan minat yang tinggi, namun juga potensi disinformasi.
Dampak Self-Diagnosis yang Salah
✔Salah Penanganan dan Obat Mandiri
Menganggap diri terkena depresi bisa membuat seseorang mengonsumsi suplemen, herbal, atau bahkan obat antidepresan tanpa resep. Ini bisa berbahaya bagi tubuh.
Dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, menyatakan bahwa konsumsi obat psikotropika tanpa pengawasan bisa menyebabkan gangguan neurobiologis jangka panjang, termasuk ketergantungan dan penurunan fungsi kognitif.
✔Mengabaikan Penyakit Lain yang Lebih Serius
Gejala seperti kelelahan, kurang konsentrasi, atau mood swing tidak selalu berarti gangguan mental. Bisa jadi itu gejala anemia, gangguan tiroid, atau stres biasa. Tanpa pemeriksaan, masalah utama bisa terabaikan.
✔Munculnya Label Sosial yang Salah
Mengklaim diri memiliki gangguan mental tanpa diagnosis resmi bisa menciptakan stereotip sosial baru yang membingungkan, baik bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar.
✔Meremehkan Orang dengan Gangguan Mental Sesungguhnya
Self-diagnosis yang asal-asalan bisa membuat orang menganggap remeh penderita gangguan mental yang benar-benar mengalami kesulitan berat.
Menurut Psikolog klinis Anna Surti Ariani, M.Psi., menyamakan diri dengan gangguan mental hanya dari gejala ringan berisiko merusak empati dan akurasi persepsi terhadap isu psikologis.
Apakah Self-Diagnosis Selalu Buruk?
Tidak sepenuhnya. Self-awareness atau kesadaran terhadap gejala psikologis adalah langkah awal yang positif. Namun, diagnosis akhir tetap harus melalui pemeriksaan profesional.
Menurut Dr. Gita Leksana, SpKJ, self-diagnosis bisa menjadi titik awal seseorang mencari bantuan, asalkan diiringi keinginan untuk verifikasi dari psikolog atau psikiater.
Solusi Menghadapi Tren Self-Diagnosis di Kalangan Gen Z
✔Literasi Digital dan Mental Health yang Baik
Penting bagi Gen Z untuk memverifikasi konten dengan sumber ilmiah, seperti WHO, Kemenkes, atau lembaga psikologi nasional. Jangan mudah percaya konten viral tanpa dasar akademik.
✔Peran Influencer dan Content Creator
Influencer harus lebih bertanggung jawab saat membahas topik kesehatan mental. Menyertakan disclaimer dan sumber valid bisa membantu mengurangi miskonsepsi.
✔Akses ke Psikolog Harus Diperluas
Pemerintah dan sektor swasta perlu memperluas layanan psikologi murah atau gratis, termasuk di kampus dan sekolah. Telekonseling dan aplikasi seperti Halodoc atau Riliv bisa menjadi jembatan.
✔Libatkan Keluarga dan Komunitas
Keluarga harus diberi edukasi tentang pentingnya merespons keluhan psikologis anak muda dengan empati, bukan menyalahkan atau menyuruh "bersyukur saja".
FAQ Seputar Self-Diagnosis di Kalangan Gen Z
Apakah self-diagnosis itu berbahaya?
Bisa berbahaya jika dilakukan tanpa verifikasi profesional dan disertai tindakan seperti mengonsumsi obat sendiri.
Bolehkah saya mencurigai diri punya gangguan mental?
Boleh, tetapi hanya sebagai bentuk kesadaran. Verifikasi harus melalui tenaga ahli seperti psikolog atau psikiater.
Bagaimana cara tahu apakah konten mental health itu valid?
Periksa kredibilitas pembuat konten, apakah mereka psikolog/psikiater resmi, dan apakah mencantumkan sumber ilmiah.
Apa aplikasi terpercaya untuk konsultasi awal kesehatan mental?
Beberapa yang bisa digunakan: Halodoc, Riliv, Mindtera, dan SehatQ. Namun untuk diagnosis, tetap diperlukan konsultasi langsung dengan tenaga ahli.
Kesimpulan
Self-diagnosis di kalangan Gen Z adalah fenomena kompleks yang bisa menjadi awal kesadaran, namun juga menyimpan bahaya jika dilakukan tanpa pemahaman yang benar. Gen Z perlu meningkatkan literasi digital dan kesehatan mental, serta tidak ragu berkonsultasi dengan profesional. Orang tua, sekolah, dan komunitas juga harus mengambil peran aktif untuk mendampingi proses ini.
Baca Juga: Fakta: Mengapa Gen Z di Indonesia Rentan Mengalami Burnout di Usia Muda?
Publisher/Penulis:[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]
Referensi:
American Psychiatric Association (apa.org) Dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K) – Psikiater Anak & Remaja RSCM
Prof. Dr. Irwanto, M.S. – Fakultas Psikologi UI
Anna Surti Ariani, M.Psi., Psikolog Anak dan Keluarga Dr. Gita Leksana, SpKJ – Psikiater Klinis RSUD Jogja
Dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ – Psikiater & Penulis
Katadata Insight Center (2023) – Studi tren Gen Z Indonesia
WHO & Kementerian Kesehatan RI – Edukasi Kesehatan Mental
Platform Konsultasi: Halodoc, Riliv, SehatQ, Mindtera