Fakta Studi: Gen Z Cenderung Sulit Mengenali Emosi Negatif Diri Sendiri

Studi terbaru menunjukkan Gen Z kesulitan mengenali emosi negatif diri mereka sendiri. Temukan penyebab, dampak, dan solusinya dalam artikel ini.

(Ilustrasi Gen Z bingung mengenali emosi diri di era digital)

Portaljatim24.com - Fakta Studi - Generasi Z (Gen Z), yang lahir antara tahun 1997 hingga awal 2012, merupakan generasi digital native yang hidup berdampingan dengan teknologi sejak lahir. Namun, di balik kecanggihan teknologi yang mereka kuasai, muncul sebuah fakta mengejutkan dari berbagai studi psikologi: Gen Z cenderung mengalami kesulitan dalam mengenali dan mengelola emosi negatif diri sendiri. Hal ini berdampak signifikan terhadap kesehatan mental, hubungan sosial, hingga produktivitas keseharian mereka.

Baca Juga: Fakta Hasil Studi: Screen Time Lebih dari 8 Jam Picu Overstimulasi Otak

Pengertian Mengenali Emosi Negatif Diri Sendiri

Menurut Dr. Daniel Goleman, ahli kecerdasan emosional, kemampuan mengenali emosi negatif seperti marah, sedih, kecewa, atau cemas merupakan bagian dari self-awareness (kesadaran diri) yang krusial dalam kecerdasan emosional (EQ). Tanpa kemampuan ini, seseorang sulit memahami akar dari perilaku atau reaksi mereka sendiri.

Hasil Studi Mengenai Kesulitan Emosional Gen Z

Sebuah studi oleh American Psychological Association (APA) tahun 2023 menunjukkan bahwa 54% Gen Z mengaku kesulitan membedakan antara rasa cemas dan sekadar stres. Penelitian serupa oleh Harvard Graduate School of Education mengungkapkan bahwa banyak remaja dan dewasa muda dari kalangan Gen Z tidak mampu mendefinisikan dengan jelas perasaan negatif yang sedang mereka alami.

Perbandingan dengan Generasi Sebelumnya (Millennial & Gen X)

Berbeda dengan Millennial atau Gen X yang mengalami perkembangan emosi melalui interaksi langsung dan lingkungan yang relatif minim teknologi, Gen Z tumbuh dalam ekosistem digital. Hal ini membuat banyak interaksi mereka terjadi melalui layar, bukan percakapan tatap muka.

Generasi sebelumnya lebih terbiasa mengelola konflik secara langsung dan belajar membaca ekspresi wajah atau bahasa tubuh. Sementara Gen Z lebih akrab dengan emoji, reaction, dan meme, yang tidak selalu menggambarkan kondisi emosional secara utuh. Inilah yang menyebabkan penurunan kemampuan dalam mengenali emosi secara mendalam.

Pengaruh Budaya Digital dan Filter Emosi

Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memperkenalkan budaya "highlight reel" - hanya menampilkan sisi positif atau prestasi semu dari kehidupan seseorang. Akibatnya, Gen Z terbiasa menyembunyikan emosi negatif dan membentuk kebiasaan "toxic positivity" - berpura-pura bahagia agar tetap diterima secara sosial.

Filter digital pun berperan. Ketika semua hal bisa diedit untuk terlihat sempurna, kemampuan untuk menerima kenyataan emosi negatif pun perlahan tumpul. Mereka cenderung membandingkan diri dengan standar kebahagiaan palsu dan merasa emosi negatif sebagai kelemahan.

Penyebab Lain Kesulitan Mengenali Emosi Negatif

Kurangnya Pendidikan Emosi di Sekolah

Masih banyak sekolah di Indonesia yang belum memasukkan literasi emosional dalam kurikulum. Akibatnya, siswa hanya diajarkan aspek kognitif tanpa menyentuh aspek afektif.

Lingkungan Keluarga yang Minim Dialog Emosional

Dalam budaya Asia, termasuk Indonesia, pembicaraan tentang perasaan sering kali dianggap tabu atau kurang penting. Gen Z yang tidak terbiasa mendengar ekspresi emosi dari orang tua akan tumbuh dengan kesulitan mengekspresikan perasaannya sendiri.

Kecanduan Media Sosial dan Distraksi

Penggunaan media sosial berlebihan membuat otak terbiasa dengan rangsangan cepat dan instan. Proses mengenali emosi yang sebenarnya membutuhkan waktu, refleksi, dan ketenangan.

Dampak Kesulitan Mengenali Emosi

-Meningkatnya risiko depresi dan kecemasan

-Menurunnya empati terhadap orang lain

-Sulit menjalin hubungan sehat dan bermakna

-Rentan terhadap ledakan emosi atau withdrawal (menarik diri)

Solusi Meningkatkan Kesadaran Emosi Gen Z

Edukasi Literasi Emosional Sejak Dini

Sekolah dan keluarga perlu berkolaborasi dalam mengajarkan anak mengenali dan memberi nama pada setiap emosi.

Terapi dan Konseling Psikologis

Psikolog dapat membantu anak muda menggali dan mengurai perasaan melalui teknik seperti cognitive behavioral therapy (CBT) atau journaling terapeutik.

Detoks Media Sosial

Memberikan waktu khusus tanpa gawai dan melatih anak muda untuk fokus pada dunia nyata bisa mengembalikan kemampuan refleksi emosional.

Latihan Mindfulness dan Meditasi

Mindfulness membantu Gen Z memperhatikan pikiran dan emosi tanpa menghakimi, serta belajar mengenali perasaan yang muncul secara alami.

FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)

Apakah sulit mengenali emosi termasuk gangguan psikologis?

Tidak selalu. Namun, jika mengganggu fungsi sosial atau keseharian, perlu penanganan.

Bagaimana cara mudah mengenali emosi?

Coba jurnal harian, refleksi sebelum tidur, atau konsultasi dengan psikolog.

Apakah ini terjadi hanya di Indonesia?

Tidak. Ini adalah fenomena global yang banyak dialami oleh generasi muda di seluruh dunia.

Kesimpulan

Fakta studi menunjukkan bahwa Gen Z mengalami tantangan nyata dalam mengenali emosi negatif diri sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh budaya digital, minimnya literasi emosional, serta pola komunikasi sosial yang berubah. Dengan pendekatan yang tepat, generasi ini dapat diarahkan untuk menjadi lebih sadar dan sehat secara emosional.

Baca Juga: Fakta Multitasking Media Bisa Menurunkan Kognisi Gen Z Menurut Studi Nasional


Publisher/Penulis:[Tim Redaksi portaljatim24.com (AZAA/KK)]


Referensi:

Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence

APA (2023). Survey on Emotional Understanding in Youth

Harvard GSE (2022). Emotional Awareness in the Digital Age

Pew Research Center (2023). Gen Z and Emotional Challenges

Psikologi Indonesia, Kompas (2024)